Catatan Kepala: ”Jika memiliki atasan yang buruk, kita bisa
memilih untuk mengeluhkannya atau menjadikannya pelajaran berharga bagi
pengembangan kualitas pribadi kita.”
Sejauh yang saya ketahui, banyak orang yang kesal kepada
atasannya. Ada yang kesal tanpa alasan yang valid. Namun, ada juga orang yang
kesal kepada atasannya dengan alasan yang tidak cukup berbobot. Banyak orang
yang mengeluhkan tentang atasannya karena memang atasannya tidak cukup mampu
menjadi panutan yang layak untuk diteladani. Tetapi, banyak juga orang yang
justru mengeluhkan atasannya yang sebetulnya memiliki kualitas kepemimpinan
bagus. Namun, sang atasan bertekad untuk melakukan perubahan sehingga banyak
‘kenikmatan’ yang selama ini dirasakan oleh bawahan mulai terusik. Walhasil, sebaik
apapun atasan tersebut, bawahannya tetap saja menilainya buruk. Bagaimana Anda
menilai atasan Anda sendiri?
Saya tidak hendak mempermasalahkan apakah alasan seseorang
kecewa pada atasannya valid atau tidak. Namun, sebagai orang yang pernah
menjadi atasan, sikap terbaik saya adalah melihat kemungkinan bahwa para
bawahan saya memang benar ketika melihat saya sebagai atasan yang memiliki
kelemahan mendasar. Dan, sebagai orang yang pernah menjadi bawahan; sikap
terbaik saya adalah menyadari bahwa boleh jadi bukan atasan saya yang lemah,
melainkan saya sendirilah sebagai bawahannya yang belum mampu menguatkan
posisinya. Sebagai bawahan, saya memang berkewajiban untuk mengerahkan seluruh
kemampuan profesional saya untuk memperkuat kualitas kepemimpinan atasan saya.
Sebab, sehebat apapun kemampuan kepemimpinan seorang atasan, jika anak buahnya
memble seperti saya, maka kepemimpinannya tidak akan efektif. Jika pun benar
atasan kita tidak bagus, kita bisa memilih untuk mengeluhkannya atau
menjadikannya pelajaran berharga untuk mengembangkan kualitas diri kita. Saya
memilih untuk menjadikannya ibroh atau pelajaran. Bagi Anda yang tertarik
menemani saya belajar menarik pelajaran dari kualitas kepemimpinan atasan, saya
ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence
(NatIn™) berikut ini:
1.
Bagaimanapun juga atasan adalah guru bagi kita.
“Puih, siapa yang mau berguru kepada orang
seperti itu!” mungkin Anda bisa berkilah begitu. Memang, jika kita sudah
antipati terhadap seseorang, sangat sulit untuk merendahkan hati kepadanya.
Apalagi jika harus berguru. Menurut saya sebaliknya. Jika Anda merasa atau
menilai bahwa atasan Anda itu tidak bagus – apapun bentuk tidak bagusnya – maka
beliau bisa menjadi guru yang sangat baik bagi Anda. Bagaiman bisa? Bisa.
Perhatikan seluruh aspek yang Anda nilai buruk dari beliau. Dan jadikanlah itu
sebagai pelecut bagi diri Anda sendiri agar jangan sampai Anda miliki kelemahan
serupa itu. Yang sering terjadi adalah; orang-orang yang doyan mengkritik orang
lain, padahal ternyata dia sendiri begitu. Jika Anda bisa menemukan kelemahan
atasan Anda, maka Anda harus belajar dari kelemahan atasan itu agar Anda tidak
memiliki kelemahan yang sama. Jika Anda tidak bisa menarik pelajaran darinya,
maka Anda hanya akan menjadi pemimpin yang sama tidak bagusnya dikemudian hari.
Jika Anda menyepelekan atasan Anda hari ini, maka sangat wajar jika kelak; Anda
akan lebih dilecehkan lagi oleh bawahan Anda. Maka agar hal itu tidak terjadi,
belajarlah kepada atasan Anda. Dan jadikanlah dia guru terbaik untuk membangun
kualitas seorang pemimpin yang lebih baik, didalam diri Anda.
2.
Berikan ruang untuk kelemahan manusiawi.
Diantara
kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh atasan kita terdapat hal-hal yang
sifatnya manusiawi. Misalnya, atasan kita itu ewuh pakewuh. Maka dalam
mengambil keputusan terlampau banyak pertimbangan. Dan terkesan lamban. Atau
sebaliknya, atasan kita adalah orang yang sangat lugas dan to the point. Dia
berbicara tanpa deteng aling-aling. Terkesan mengesampingkan perasaan orang
lain. Kasar. Dan menuntut terlampau banyak. Kedua situasi ini berkaitan dengan
karakter pribadi yang berbeda. Sama halnya dengan kita yang mungkin terlalu
banyak pertimbangan atau sebaliknya terlampau blak-blakan. Kita perlu memberi
ruang kepada perbedaan karakter seperti itu melalui kesediaan untuk memaklumi
orang lain. Dengan cara itu, kita bisa lebih mampu beradaptasi terhadap ‘gaya
memimpin dan kepribaidian’ atasan kita. Apa gunanya buat kita? Oh, banyak
sekali. Misalnya, kita akan selalu cocok dengan jenis pemimpin macam manapun
yang menjadi atasan kita. Selain itu, kita tidak akan pernah merasa tertekan
atau kecewa selama bekerjasama dengan atasan kita. Bukankah nikmat sekali jika
kita bisa bekerja tanpa ada ganjalan dihati? Sekarang Anda tahu bahwa kedamaian
dalam hati itu sudah merupakan reward tersendiri. Atasan Anda tidak jahat.
Hanya berbeda ciri kepribadiannya dengan Anda. Maka berilah ruang pada
kelemahan manusiawi, jika atasan Anda memiliki kelemahan itu. Dan Anda, akan
mendapatkan banyak manfaatnya.
3.
Menjadi tandem nomor wahid.
Atasan kita bukanlah pribadi yang bisa dituntut untuk serba sempurna
dihadapan kita. Jika ada yang kurang padanya, kitalah yang berkewajiban untuk
melengkapinya. Salah satu hal yang sering dikeluhkan bawahan adalah; kemampuan
teknis atasan yang kalah dari anak buahnya. Kadang kita menyebutnya sebagai
’anak kemarin sore’ atau ’anak bawang yang tidak tahu apa-apa’. Hey, fungsi
atasan Anda itu bukanlah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis seperti
Anda. Maka keterampilan kerja Anda yang lebih tinggi dari dirinya sama sekali
bukanlah isyu besar. Tugas atasan Anda sebagai leader adalah untuk mengelola
proses kerja dan membuat keseluruhan proses itu sinkron satu sama lain. Dan hal
itu, tidak selalu berkaitan langsung dengan keterampilan teknis. Bahkan
sekalipun atasan Anda memiliki pengalaman yang sama baiknya dengan Anda,
mungkin usia mereka sudah tidak memungkinkan lagi untuk bergerak segesit Anda.
Maka menghakimi atasan karena kelemahan keterampilan teknisnya jelas merupakan
sebuah kesewenang-wenangan yang mencampakkan fitrah kita sebagai manusia.
Keberadaan kita sebagai bawahan adalah untuk menjadi tandem yang tangguh
baginya. So do your part, and your superior does his own. Setiap orang memiliki
fungsi dan perannya masing-masing dalam pekerjaan. Dan jika kita semua
menjalankan fungsi dan tanggungjawab masing-masing dengan kualitas terbaik,
maka kita akan saling menguatkan satu sama lain. Maka jadilah tandem nomor
wahid bagi atasan Anda. Dan Anda akan merasakan hasilnya.
4.
Belajar terbalik dari perilaku buruk.
Tidak
perlu menutup mata dengan kenyataan bahwa memang benar, ada atasan yang
perilakunya buruk sekali. Melemparkan tanggungjawab kepada bawahan. Menjadikan
orang lain sebagai kambing hitam. Mencari muka kepada atasannya yang lebih
tinggi. Ada pula yang melanggar etika kerja, bahkan berani melakukan tindakan
asusila. Hal pertama yang wajib Anda lakukan jika memiliki atasan buruk seperti
ini adalah; pastikan bahwa Anda tidak melakukan keburukan yang sama. Setelah
itu, fahamilah bahwa perilaku buruknya sama sekali tidak ada hubungannya dengan
statusnya sebagai atasan. Jika orangnya memang senang dengan perbuatan nista,
tidak peduli punya jabatan atau tidak; tentu dia akan melakukan perbuatan
tercela itu. Berikutnya apa yang harus Anda lakukan? Ini tidak kalah
pentingnya, yaitu; belajarlah secara terbalik dari perilaku buruknya.
Maksudnya? Anda jadikan perilaku buruk orang itu sebagai ibroh atau pelajaran
untuk kita hindarkan. Ingatlah selalu betapa buruknya citra orang itu sebagai
seorang atasan karena keburukan perilakunya. Sekarang bayangkan jika Anda
mempunyai perilaku buruk seperti dirinya; bukankah justru Anda sendirilah yang
dinilai buruk? Maka jika atasan Anda memang benar-benar berperilaku buruk;
belajarlah secara terbalik kepadanya dengan cara terus berusaha untuk
menjadikan diri Anda sebagai seorang pribadi yang baik.
5.
Tuhan selalu mengirim orang yang tepat untuk
kita.
Di
sebuah perusahaan multinasional, sekelompok orang menginginkan Presiden
Direktur expatriate segera diganti. Banyak orang yang merasa gerah dengan gaya
memimpin orang itu. Ndilalah. Kantor pusat menggantinya dengan orang lain.
Lebih baikkah orang yang menggantikannya? Bergantung bagaimana cara orang-orang
itu melihatnya. Awalnya dinilai baik. Lama kelamaan orang-orang menyebutnya
sebagai ‘Mr. Line By Line’. Mereka pun kembali berharap segera terjadi rolling
kepemimpinan. Tak lama kemudian, diganti lagi oleh seseorang yang lain. Ketika
pemimpin baru yang ‘dikirim’ oleh boss besar di kantor pusat itu datang, semua
orang gembira dan memuji-mujinya. Namun lama kelamaan, orang-orang
mengeluhkannya sebagai pribadi yang kasar. Tidak berperasaan. Dan sangat
menuntut. Saya lama merenungkan hal itu. Ternyata hal itu terjadi hampir di
semua organisasi dan perusahaan. Kemudian saya menemukan bahwa satu-satunya
pemimpin yang akan disukai oleh semua orang adalah; seseorang yang mau
mengikuti apapun yang diinginkan oleh bawahannya. Dan jika hal itu terjadi,
semua orang yang dipimpinnya akan senang. Namun sebagai seorang profesional,
saya melihat bencana nyata bagi kelangsungan hidup perusahaan. Penelusuran dan
rasa ingin tahu saya akhirnya bermuara kepada kenyataan bahwa; kita sering lupa
jika Tuhan selalu mengirimkan orang yang tepat untuk berinteraksi dengan kita.
Kita sering keliru memahami isyaratNya. Padahal, jika percaya bahwa semua orang
yang berhubungan dengan kita adalah dengan ‘seizin’ Tuhan, maka kita akan
memahami bahwa ada pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari interaksi
dengan siapapun yang menjadi atasan kita. Demi kebaikan diri kita sendiri.
Ada begitu banyak
agenda yang harus diselesaikan oleh orang yang menduduki jabatan lebih tinggi
dari kita. Orang itu mungkin memiliki kelemahan. Mungkin juga kitalah yang
keliru memahaminya. Apapun itu, bisa menjadikan kita sebagai pribadi yang jauh
lebih baik. Jika memang atasan kita itu tidak bagus, maka kita bisa menjadikan
kehadirannya sebagai pelajaran terbaik untuk melatih diri kita agar bisa menjadi
pribadi yang lebih baik dari dirinya. Namun, jika kita yang selama ini keliru
menilainya; maka kita bisa segera memperbaiki cara pandang kita kepadanya.
Dengan cara itu, siapapun atasan Anda. Dan bagaimanapun caranya memimpin Anda.
Tentu akan selalu membawa hikmah tertinggi bagi Anda pribadi. Bisa? Bisa.
Mari Berbagi
Semangat!
Catatan Kaki:
Kemampuan mengambil pelajaran dari baik atau buruknya
perilaku atasan merupakan modal penting untuk menjadikan kita pemimpin masa
depan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar