Pic. Source: www.turbosquid.com |
Baru-baru ini saya ada meeting dengan klien untuk urusan training. Karena kebutuhan klien ini sangat spesifik, maka kami memandang perlu untuk duduk bersama membahas detailnya. Lokasi meetingnya di Cikarang. Mulai jam 2 siang, sampai jam 4 sore. Setelah selesai meeting itu, saya langsung melaju kembali kearah Jakarta. Anda yang sering melintasi jalan tol itu tentu paham jika sepanjang beton pembatas yang memisahkan kedua arus berlawanan di jalur toll itu sangat gersang sekali. Hanya ada beberapa pohon perdu kecil yang tampaknya kurang terawat. Tidak terlalu jelas antara tumbuh ataukah merana.
Yaa seperti karir kitalah. Nggak begitu jelas. Kemana sih arah karir ini? Buat kebanyakan karyawan sih, karir kan tidak lebih dari sekedar sandaran untuk mendapatkan penghidupan. Cari makan, begitulah bahasa lugasnya. Nggak lebih dari itu. Pokoknya, bisa dapat sejumlah uang untuk menutupi kebutuhan hidup selama sebulan. Karena kantor swasta menganut prinsip ‘kerja dulu baru gajian’, maka kita biasa menunggu tanggal 25 untuk bisa menutupi kebutuhan selama sebulan itu. Makanya, begitu terima gaji tanggal 25 pagi, langsung ditransfer kesana-sini pada sore harinya. Setelah itu, ya mesti sabar sampai gajian lagi di tanggal 25 berikutnya. Begitulah kita menjalani rutinitas. Tanpa tahu, akan bagaimanakah masa depan karir ini.
Seperti pohon-pohon perdu di sepanjang jalan tol itu sih. Cuman bisa termangu disitu. Tanpa bisa bergerak kemana-mana. Sepanjang hari terhempas angin dari hembusan mobil-mobil yang pada ngebut. Terpapar terik matahari. Terkontaminasi polusi. Tanpa bisa beranjak pergi. Perhatikan saja; bukankah nasib kebanyakan karyawan sama merananya seperti itu? Sudah sepuluh tahun bekerja disitu-situ aja. Belasan tahun. Bahkan banyak yang sudah lebih dari seperempat abad. Mengerjakan tugas yang sama. Setiap hari, kembali berkutat dengan yang itu, dan itu lagi. Bias antara hepi dan keki. Campur aduk antara bahagia dan sengsara.
“Kenapa karir gue tidak kunjung membaik?” Begitulah pertanyaan yang sering mengusiknya setiap kali merasa lelah atau jengah. “Karena gue jujur,” ada yang bilang begitu. Padahal, kejujuran justru menjadi faktor penunjang karir seseorang. “Karena gue bukan penjilat,” ada juga yang bilang demikian. Padahal, tidak semua orang yang sukses dalam karirnya diraih karena menjilat. “Karena gue nggak dekat dengan pengambil keputusan.” Dan ada seribu sembilan ratus tujuh puluh enam jawaban lainnya dalam benak kita. Intinya; karir kita tidak kunjung membaik karena tidak ada ‘tangga’ yang bisa membantu kita menapak ke jenjang yang lebih tinggi. Maka, jadilah kita seperti pohon perdu disepanjang jalan tol itu. Antara ada dan tiada, nggak jelas bedanya.
Jalanan agak macet, sehingga saya mempunyai kesempatan untuk melihat-lihat. Tepat di antara kilometer 14.00 dan 14.200, saya melihat sebuah pemandangan yang menarik. Di sela-sela beton pembatas itu ada semacam pohon merambat. Yang membuatnya menarik adalah; pohon itu tidak merambat di beton-beton itu. Melainkan naik hingga hampir menyentuh kabel listrik yang tingginya saya perkirakan sekitar 4 atau 5 meter diatasnya. Batin saya tertegun. Bagaimana pohon itu bisa merambat naik? Padahal, saya sama sekali tidak melihat ada alat bantu apapun yang memungkinkan sulur-sulur pohonnya naik. Kalau ada tiang listrik, atau bambu atau apalah yang bisa menyangganya kan wajar. Tapi ini? Sama sekali nggak ada alat bantu. Magic? Mungkin.
Di banyak kantor, saya sering melihat ‘orang-orang yang sangat biasa’. Sekolahnya tidak tinggi. Awal karirnya, dimulai dari tingkatan yang paling rendah. Tapi, banyak diantara mereka yang bisa menapak hingga ke puncak. Ada yang dari office boy menjadi direktur. Ada yang dari salesman, menjadi Country Manager. Dan ada juga yang dari penjaga gudang, menjadi CEO perusahaan besar. Kalau orang yang sekolahnya tinggi, wajar kan? Kalau orang yang memulainya dari pekerjaan awal yang keren, masuk akal. Tapi ini? Sama sekali tidak ada pijakan yang kuat untuk menjadikan mereka professional sukses. Magic? Mungkin.
Meski perlahan, tapi kendaraan kami berjalan; sekalipun mesti sering injak pedal rem. Tapi justru keadaan itu membuat saya lebih leluasa memperhatikan. Sekarang, kendaraan saya merayap tepat disamping pohon merambat itu. Dan saya mempunyai pemandangan yang sempurna untuk melihat apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Subhanallah. Pohon merambat itu ternyata melilit di sebuah benang layang-layang yang putus. Kerangka sisa layang-layang itu tersangkut di kabel listrik diatasnya. Sehingga benangnya menjuntai hingga menyentuh beton pembatas jalan. Masya Allah. Itu pohon merambat yang lemah dan tidak berbatang, melilitkan sulur-sulurnya. Kemudian berpegangan erat di benang layang-layang.
Saya menyaksikan sendiri. Bagaimana orang-orang yang memulai karir dari bawah itu berpegang teguh kepada tekadnya yang kuat dan bulat. Untuk bisa sampai ke tingkatan yang lebih tinggi. Persis seperti sulur pohon merambat itu. Mereka sadar jika tidak ada tangga yang bisa jadi pijakan untuk naik. Maka mereka dengan sepenuh kesadaran mendaya gunakan apa saja yang ada disekitarnya untuk terus bertumbuh kembang. Pohon merambat itu, punya benang layang-layang. Sedangkan office boy itu, punya waktu luang untuk mempelajari banyak hal yang orang-orang keren tidak mau mencobanya sama sekali. Pohon merambat itu sadar, jika dirinya tidak punya batang yang kokoh untuk tumbuh. Penjaga gudang itu juga sadar, jika dirinya tidak mempunyai modal tampang, apalagi ijazah untuk dipertarungkan. Tapi keduanya – pohon merambat dan orang biasa itu – punya kemauan dan kegigihan yang tidak dimiliki oleh pohon lain dan karyawan lain dikantornya.
Saya bisa membayangkan di hari pertama sulur-sulur pohon itu bersentuhan dengan benang layang-layang itu. Pasti tidak mudah. Karena selain sangat kecil, juga tidak mau diam karena tertiup angin imbas dari mobil-mobil yang melintas. Saya juga bisa membayangkan di hari pertama pegawai-pegawai rendah itu memulai pekerjaannya. Pasti tidak gampang. Karena tugas yang harus dikerjakannya biasanya nggak menggugah selera. Mengerjakan hal-hal yang orang lain ogah melakukannya. Mengepel lantai. Mengangkut kardus. Mencuci piring dan gelas. Membersihkan toilet. Hiiiy….
Saya membayangkan. Setiap hari, pohon merambat itu tumbuh beberapa mili atau senti. Seperti Natin office boy itu yang setiap hari, belajar hal-hal baru. Sehari satu satu senti sulur pohon itu bertambah tinggi. Dan sehari, satu ilmu didapatkan office boy itu. Sebulan kemudian, sulur pohon merambat itu sudah naik hampir setengah meter lebih tinggi. Dalam tiga bulan, sulurnya sudah lebih tinggi dari pohon-pohon perdu yang memiliki batang kokoh itu. Seperti office boy itu. Perlahan tapi pasti, ilmunya bertambah. Pengetahuannya meningkat. Dan keterampilannya semakin canggih. Tiga tahun kemudian, dia lebih terampil daripada karyawan lain yang berpenampilan keren-keren itu.
Ketika saya melintas di kilometer 14.100 tol dari Cikarang menuju ke Cawang itu. Saya mendapati jika sulur pohon merambat itu sudah hampir menyentuh kabel listrik yang sangat tinggi posisinya. Ketika saya bertemu lagi dengan office boy itu beberapa belas tahun kemudian. Saya mendapati dirinya sudah duduk di sebuah ruangan yang ditempatkan di pojokan. Lokasi pavorit setiap gedung perkantoran. Dengan kursi kulit yang bisa diatur posisinya. Dengan pemandangan seantero kota yang terpampang indah bak lukisan di dinding kaca yang melindunginya. Seperti pohon merambat itu. Sekarang pegawai rendahan itu sudah berada di posisi yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Arus lalu lintas mulai melonggar. Pedal gas sudah bisa diinjak. Saya sudah bisa melaju lagi sekarang. Namun sebelum itu. Saya melirik kearah pohon merambat itu. Mengangguk penuh hormat, sambil mengucapkan terimakasih kepadanya atas pelajaran hari ini. Sebuah pelajaran langit yang disampaikannya secara bersahaja. Lalu saya melirik kearah pohon perdu itu. Tampaknya, dia masih bertanya-tanya; “Dimanakah tangga buat saya naik keatas?” Duhai pohon perdu. Kamu punya batang yang kuat. Maka tumbuhlah dengan batangmu. Karena batangmu, bisa menjadi tanggamu. Wahai pohon perdu. Contohkan kami, bahwa dengan memberdayakan dirimu; engkau akan menemukan tanggamu sendiri. Untuk tumbuh dan menapak lebih tinggi. Percayalah wahai perduku. Bahwa Tuhan. Ssudah menyediakan untukmu; aneka rupa tangga.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman
Catatan Kaki:
Begitu banyak orang yang karirnya tidak berkembang. Dan mereka menemukan bahwa biang keladi penyebab kerdilnya karir itu adalah; tidak ada tangga yang tersedia untuk dirinya menanjak naik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar