Trial and error itu artinya kira-kira adalah ‘mencoba dan salah’. Setelah melakukan kesalahan itu lalu apa? Harapannya, kita bisa belajar dari kesalahan yang sudah kita lakukan dan kelak bisa melakukannya lebih baik lagi tanpa mengulang kesalahan yang sama. Dalam beberapa situasi, prinsip trial and error itu bisa dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Misalnya, dalam konteks R&D. Ilmuwan mencoba ini dan itu, memperbaikinya, kemudian menghasilkan produk atau temuan yang memenuhi harapan.
Tetapi, ternyata bahkan ilmuwan yang memang pekerjaannya ‘melakukan’ trial and error itu pun tidak sembarangan melakukannya. Sebelum melakukan trial and error itu, mereka terlebih dahulu dibekali dengan ilmu yang memadai.
Dengan demikian, tiral and error yang mereka lakukan dilandasi dengan pengetahuan, dan pemahaman yang tinggi terhadap subyek yang sedang ditelitinya. Dengan kata lain, trial end error yang ‘bener’ itu mesti dibentengi oleh ilmu. Jika tidak, maka trial and error itu akan benar-benar error hingga menimbulkan kerugian yang mungkin fatal.
Didalam kepemimpinan, prinsip trial and error lazim sekali dilakukan. Khususnya oleh para pemimpin yang baru di promosi. Misalnya, staff yang diangkat menjadi supervisor atau manager. Pola yang jelas sekali terlihat adalah seperti ini: staff yang bagus – naik level menjadi leader – lalu mereka menjalankan tugas kepemimpinannya tanpa bekal ilmu memimpin yang memadai. Mengapa tidak memadai? Antara lain karena perusahaan tidak membekali mereka dengan training kepemimpinan yang memadai sebelum mereka menjalankan tugasnya masing-masing.
Banyak perusahaan yang percaya – secara keliru – bahwa seorang staff yang bagus kalau diangkat jadi manager atau group leader akan bisa belajar memimpin manusia secara trial and error. Sehingga mereka mengira bahwa selembar kertas pengangkatan bisa menjadi bekal memadai bagi mereka untuk menjadi pemimpin yang handal. Faktanya, banyak leader baru yang justru frustrasi karena bingung mesti melakukan apa ketika menghadapi anak buahnya. Lalu pemimpin senior bilang; “Bagus. Kalau kamu sudah frustrasi, berarti kamu belajar sesuatu.” Betapa klise-nya, bukan?
Ingatlah para ilmuwan yang terlebih dahulu memiliki ilmu sebelum melakukan percobaan. Mestinya, leader yang baru pun demikian. Mereka mesti memiliki ilmu yang memadai – minimum required knowledge – agar bisa melakukan trial and error secara efektif. Jika tidak, sama seperti ilmuwan yang bisa mengalami kecelakaan dalam melakukan uji cobanya; pemimpin baru tanpa bekal ilmu pun bisa sangat membahayakannya.
Mungkin bahaya trial memimpin tanpa ilmu itu tidak berupa ledakan di laboratorium. Atau residu beracun dalam suatu produk. Tapi, tidak berarti lebih rendah kadar bahayanya. Sebab, efek samping berbahaya memimpin tanpa ilmu itu munculnya justru tidak dalam bentuk yang langsung kelihatan seperti itu. Melainkan berupa kebiasaan yang tanpa terasa mempengaruhi perilaku leader dan orang-orang yang dipimpinnya. Resiko ini akan semakin bertambah tidak kelihatan lagi ketika fokus perusahaan dalam penilaian kinerja leader itu terletak kepada ukuran berupa angka-angka. Jika salesnya masuk terus, misalnya; maka leader itu dianggap bagus. Jika tidak ada gejolak, leader itu juga dianggap bagus.
Faktanya, sales bisa dicapai degan berbagai cara. Dan tidak ada gejolak bisa saja sebenarnya merupakan efek dari ketidak pedulian orang sehingga mereka memasabodohkan keberadaan atasannya. Jika managemen ‘puas’ pada ukuran yang mungkin semu itu, maka leader yang bersangkutan merasa bahwa cara memimpinnya sudah tepat. Walhasil, cara memimpin itulah yang kemudian menjadi karakter yang mendarah daging disepanjang karir kepemimpinannya.
Ilmuwan dan pemimpin yang melakukan percobaan tanpa ilmu bisa sama menimbulkan resiko merugikannya. Bedanya, belum tentu resiko buruk itu bisa langsung kelihatan. Khususnya, jika pola memimpin itu keliru namun tertutupi oleh ukuran angka-angka. Diatas kertas bagus, namun didalamnya ternyata keropos. Maka agar resiko itu bisa diminimalisir dengan baik, para ilmuwan belajar ilmunya terlebih dahulu sebelum melakukan trial and error yang penting. Begitu pula seharusnya para leader. Mereka perlu mempelajari ilmu memimpin yang memadai, sebelum melakukan percobaan lebih jauh dalam mengelola orang-orang yang dipimpinnya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Bagaimanapun juga, melakukan sesuatu dengan dukungan ilmu jauh lebih baik daripada melakukannya sekedar trial and error saja.
Cukup informatif Mas Bro... Rasanya perlu disebarkan, terutama menjelang 2014..
BalasHapusTenkyu Bro... Dadang Kadarusman ini adalah salah satu trainer Personal Development favorit, tulisan-tulisannya oke punya.... semoga bermanfaat...
Hapus