Memikirkan Anak Buah

Pic. Source: www.smeadvisor.com
Jika Anda seorang atasan, pasti Anda memikirkan anak buah kan? Beuh… yang namanya mikirin anak buah mah sudah santapan harian ya. Terus, apa yang Anda pikirkan soal mereka? Ya macam-macamlah. Sampai hampir rematik otak rasanya. Yang satu susah diatur. Yang satunya lagi lelet. Satunya lagi kerjaan salah melulu. Yang ini doyan cari alasan. Yang itu mesti diawasi terus. Rempong banget deh. Pusing, mikirin mereka.  Kalau yang saya maksudkan sih, bukan mikirin soal itu lho. Melainkan, soal kehidupan mereka. Lho, atasan kan dibayar untuk mikirin soal kerjaan. Ngapain mikirin soal kehidupan? Benar. Kinerja itu prioritas nomor satu bagi setiap atasan. Tetapi, tinggi atau rendahnya kinerja anak buah kita itu sangat dipengaruhi oleh kehidupan mereka juga. Maka memikirkan kehidupan mereka pun, bagian dari usaha perbaikan kinerja.

Saya masih ingat betul. Kira-kira 5 tahun lalu kalau saya pergi belanja bulanan ke supermarket. Satu trolley dorong penuh belanjaan kebutuhan pokok itu masih bisa dibayar sekitar 500 atau 600 ribuan. Bagasi mobil sudah hampir penuh dengan belanjaan. Tapi kalau membelanjakan uang dalam jumlah yang sama hari ini, paling-paling hanya bisa membawa pulang beberapa kantong plastik saja. Kadang-kadang ngenes juga kalau melihat betapa kenaikan gaji tahunan ini tidak bisa mengejar kenaikan harga gula, beras, pasta gigi, sabun mandi, maupun susu buat anak-anak. Ini saya sedang ngomongin diri saya sendiri loh ya. Bukan ngomongin Anda. Tapi kalau Anda mengalami nasib serupa ya hayu dong, kita masuk kedalam klub yang sama.

Saya dan Anda, orang pangkatan. Artinya, gaji tidak lagi diukur dengan UMR. Anak-anak kita mungkin antara, 1, 2, atau 3. Ada yang 4 atau 5 ya? Nikmat banget kan setiap kali mereka mau masuk sekolah? Apalagi kalau pas ada yang masuk ke jenjang lebih tinggi. Lezzat rasanya tekanan di dompet ini. Nyesek juga didalam dada, sih. Tabungan yang cuman segitu-gitunya mesti disabet juga demi menutupi biaya-biaya. Oh, Anda tidak begitu ya? Alhamdulillah dong. Tapi yyyyaaa… kita tahu sama tahulah ya.

Pertanyaan. Jika kita yang penghasilannya boleh dibilang lumayan ini masih pusing kepala juga, lantas bagaimana dengan anak buah kita ya? Nah loh. Mikirin anak buah kita pula. Mikirin dapur sendiri saja sudah lumayan puyeng, apa lagi mesti mikirin orang lain. Makanya hanya ada 2 jenis pikiran yang memenuhi kepala kita. Satu, tentunya urusan rumah tangga sendiri. Dan dua, pastinya urusan pekerjaan yang semakin hari semakin menutut ini. Mikirin anak buah mah, ya kapan-kapan sajalah.

Memikirkan pencapaian kerja yang tinggi merupakan salah satu kekuatan kita sebagai seorang atasan. Memang kita dibayar untuk itu kok. Perusahaan mengangkat kita menjadi pejabat itu kan memang untuk memastikan kinerja anak buah kita bagus. Makanya, pikiran kita sudah benar tuch kalau difokuskan pada soal pencapaian kerja orang-orang yang kita pimpin. Tapi. Ini ada tapinya loh. Fokus pikiran kita pada pencapaian kerja itu juga sering menjadi salah satu titik lemah kita. Lho, kok bisa? Bisa banget.

Begini. Ketika pikiran dan jiwa kita hanya dipenuhi dengan target-target-dan target itu, ada kemungkinan perhatian kita terhadap aspek humanistik menjadi sangat lemah. Sehingga yang kita tuntut dari anak buah kita tidak lebih dari sekedar angka-angka-dan angka. Maka tidak heran jika pertanyaan kita pada mereka setiap hari bunyinya sama; ‘sudah jual berapa?’, ‘sudah sampai dimana?’, ‘sudah selesai apa belum?’, atau ‘besok pagi harus sudah ada di meja saya ya?!’ dan sebangsanya itu. Padahal – seperti kita sendiri juga mengalaminya – boleh jadi kepala anak buah kita itu dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang maaasih seputar perut dan pemenuhan kebutuhan hidup mereka di rumah.

Nggak nyambung jadinya kan. Atasan mikirin kerjaan yang pengen cepat beres. Anak buah memikirkan uang kontrakan rumah yang sudah mesti disetor dua hari lagi. Makanya, tidak usah terlalu heran jika perilaku dan cara kerja serta hasil yang mereka perlihatkan sering tidak sesuai dengan harapan atasan. Soalnya, tidak selaras antara pikiran dengan tindakan kita. Didalam diri mereka sendiri pun tidak sejalan. Mereka bekerja, tapi tidak fokus. Mereka berpikir, juga tidak fokus. Sehingga kemampuan yang mereka miliki tidak terdayagunakan sepenuhnya.

Terus gimana dong? Emangnya kita yang mesti mikirin uang kontrakan mereka? Tidak. Yang mesti kita pikirin adalah bagaimana caranya membantu mereka untuk melihat peluang perbaikan taraf hidupnya dalam karir yang mereka tekuni itu. Perhatikan saja anak buah Anda, apakah mereka melihat karir itu sebagai sesuatu yang ‘menjanjikan’ atau hanya sekedar pelarian karena tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari itu? Saya mengamati bahwa; kebanyakan orang yang bekerja pada bidang-bidang atau pekerjaan dengan bayaran rendah hanya menganggap pekerjaannya sebagai sekedar ‘pengganjal perut’.  Bukan hanya mereka yang digaji sebatas UMR lho yang punya sudut pandang seperti ini. Mereka yang sudah 2 atau 3 kali UMR pun masih banyak yang begitu. Madesu, jika Anda ingin menggunakan istilah keren.

Anak buah Anda, mungkin masih pada berpola pikir seperti itu loh. Dan tahukah Anda, mengapa mereka sering berpikir begitu? Saya beruntung karena punya kesempatan melihat fenomena ini di berbagai perusahaan, dalam beragam industry,  serta bermacam-macam industry. Dari sekian banyak keberagaman itu, saya menemukan sebuah kesamaan. Dan kesamaan itu, memberi kita jawaban yang paling elementer atas pertanyaan diatas; mengapa kebanyakan orang hanya menganggap pekerjaannya sebagai sekedar ‘pengganjal perut’? Perhatikan jawaban Anda. Lalu cermati, apakah sejalan dengan temuan saya berikut ini atau tidak; karena, mereka belum mampu melihat peluang pengembangan karirnya dimasa depan.

Izinkan saya untuk mengkonfirmasikannya sekali lagi bahwa; seorang karyawan, yang tidak menunjukkan sikap dan perilaku kerja yang menghasilkan kinerja tinggi itu, tidak mampu melihat peluang pengembangan karirnya dimasa depan. Temuan ini memberi kita – para atasan – kesempatan untuk mengejar pencapaian tinggi perusahaan bukan dengan melulu menuntut anak buah untuk bekerja lebih keras. Melainkan dengan membantu mereka melihat, mengeksplorasi, dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengembangan karir mereka sendiri dimasa mendatang.

“Dang, kita kan nggak bisa menjanjikan kenaikan jabatan buat anak buah….” Begitulah komentar dari seorang teman. Orang ini benar? Benar sekali. Sebagai atasan, kita tidak boleh, dan memang tidak perlu menjanjikan kenaikan jabatan kepada anak buah kita. Apalagi jika kita sendiri sudah sadar bahwa kenaikan jabatan itu tidak sepenuhnya berada dalam kewenangan kita. Kepada sahabat ini saya menjawab begini;”Apakah saya bicara soal kenaikan jabatan? Tidak. Saya bicara soal melihat, mengeksplorasi, dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengembangan karir mereka sendiri dimasa mendatang.”

Teori. Emang gampang kalau ngomong doang. Maaf ya teman-teman.  Ini bukan sekedar teori. Saya mengalaminya sendiri. Dan beberapa teman saya pun, punya pengalaman yang sama. Kenyataannya, kita semua bekerja lebih baik ketika melihat peluang adanya perbaikan karir dimasa mendatang. Tapi kenapa masih banyak anak buah kita yang memble? Karena mereka perlu kita bantu, untuk melihat peluang itu. Karena mereka perlu kita tunjukkan, jalan-jalan menuju perbaikan kehidupan mereka. Dan kita, hanya bisa melakukan hal itu jika bersedia memikirkan a.k.a peduli kepada kehidupan mereka.

Sekalipun saat ini mereka sudah merasa cukup dengan apa yang mereka dapatkan. Namun sebagai atasan, kita tidak boleh berhenti menyadarkan mereka bahwa; apa yang kita rasa cukup saat ini, sudah tidak akan memadai lagi nanti. Ingat soal belanja yang saya ceritakan tadi?  Jumlah rupiah yang cukup 5 tahun lalu, ternyata tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan hidup keluarga kita hari ini. Dengan pola yang sama, kita bisa memperkirakan bahwa rupiah yang kita rasa cukup sekarang ini…nanti tidak akan cukup lagi. Kita, bisa mengajak anak buah memahaminya jika dan hanya jika kita mau memikirkan kehidupan mereka. Kerja ekstra tampaknya memang. Namun ketahuilah sahabatku. Bahwa kesadaran ini akan membawa mereka kepada perilaku kerja, dan kinerja yang lebih baik lagi. Kita juga ikut senang, bukan?

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Kalau atasan hanya menuntut anak buah untuk sekedar memenuhi angka-angka, maka mereka hanya akan bekerja sebatas ‘angka’ dalam slip gaji mereka. Tapi, jika atasan memikirkan kehidupan mereka, maka mereka akan mengejar pencapaian tertinggi yang mereka inginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar