Untuk kesekian kalinya saya bertemu dengan seseorang yang berhenti bekerja dengan alasan klasik; ‘gajinya tidak sesuai’. Lalu memilih untuk ‘menanti’ pekerjaan lain. Dulu saya mengira jika hal itu hanya terjadi pada karyawan level UMR.
Namun ternyata tidak, karena ada juga professional kelas menengah yang lebih suka ‘tidak bekerja’ daripada dibayar ‘tidak tinggi’. Orang yang sampai mengambil keputusan ekstrim seperti itu memang tidak terlalu banyak.
Namun, ada banyak orang yang ‘punya pikiran’ sama, hanya saja tidak sampai berhenti bekerja. Ada yang karena belum mendapatkan pekerjaan lainnya. Dan ada juga yang memang tidak kepikiran untuk pindah, sehingga hanya bisa mengeluh saja.
Dulu saya tidak terlampau memperhatikan fenomena itu. Tetapi setelah menjadi seorang trainer, saya menyadari jika hal itu sungguh menggerogoti energy positif dan nilai-nilai profesionalitas kita. Akibatnya, kita tidak bisa bekerja secara optimal. Dan, potensi diri kita pun banyak yang tersia-siakan. Padahal, andai saja kita bisa mendayagunakan potensi diri yang kita miliki itu; pasti kita bisa meraih pencapaian yang lebih tinggi dari saat ini. Penyebabnya apa? Sifat ‘hitung-hitungan’ itu. Memangnya salah kalau kita hitung-hitungan? Tidak salah, jika kita menghitungnya dengan cara yang benar. Menganalisis perhitungan neraca rugi-laba karir kita, misalnya.
“Rugi-Laba karir kita? Mahluk apakah gerangan itu? Masak sih soal karir saja kok ada rugi-labanya? Ada-ada saja….” Pendapat seperti itu mungkin muncul di benak kita. Soalnya, agak aneh juga ya kalau kita sampai hitung-hitungan seperti itu. Kok sampai ‘sebegitunya’. Mungkin memang agak berlebihan. Tetapi, kenyataannya hal seperti itu yang sering kita temukan didunia kerja kita. Sering merasa digaji lebih rendah dari pekerjaan yang kita lakukan itu salah satu indikasinya. Kita merasa layak untuk digaji lebih tinggi dari yang saat ini kita terima sehingga, kita merasa perlu untuk bekerja ‘alakadarnya’ saja; jika keinginan kita untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi itu tidak terpenuhi.
Anda tidak begitu? Jika belum, saran saya; mulailah menghitung rugi-laba karir Anda. Lho, kenapa kita mesti mengukurnya? Iya dong. Kalau perusahaan tidak mencatat laba, mengapa bisnisnya diteruskan? Kalau karir kita tidak menghasilkan ‘laba’ mengapa kita mesti ngotot dengan karir ini kan? Kecuali jika kita bekerja di lembaga non profit atau hanya bekerja untuk sekedar mengisi waktu saja. Atau, mungkin kita hanya ingin beramal saja tanpa mengharapkan imbalan. Jika kita bekerja bukan dalam kerangka ketiga skenario itu, maka kita mengharapkan imbalan alias ‘something in return’ kan. Dan itu artinya, kita mesti juga menghitung neraca rugi-laba dari karir yang kita jalani ini. Dari situ, bisa kita mengetahui ‘Return On Investment’-nya.
Memangnya, kalau kita tidak menghitung ROI karir kita; apa dampaknya? Pertanyaan itu bisa dijawab dengan baik kalau kita bisa menjawab pertanyaan ini; “Memangnya kalau perusahaan tidak menghitung rugi laba bisnisnya, apa dampaknya?” Bayangkan perusahaan Anda tidak punya perhitungan rugi laba. Apa jadinya perusahaan itu? Mungkin akan tetap untung. Mungkin juga rugi, tapi terus saja ditomboki dengan invetasi lagi, dan lagi. Dan mungkin juga, segera berhenti beroperasi. Mana kita tahu?
Sikap ‘hitung-hitungan’ terhadap tugas dan tanggungjawab dalam pekerjaan menunjukkan bahwa sebenarnya alam bawah sadar kita itu sudah melakukan ‘analisis rugi laba’ terhadap karir kita. Dan hasilnya, hati kecil kita merekomendasikan kalimat ini;”Jika dibayarnya cuman segini, ya sudahlah kerjanya ya segini aja. Ngapain juga kerja habis-habisan?” Sama seperti perusahaan yang meninjau ulang eksistensinya dalam bisnis itu, jika labanya tidak bermakna.
Secara sederhana, rugi laba sebuah bisnis ditentukan oleh selisih antara pendapatan dan biaya. Prinsip sederhana itu juga bisa kita gunakan untuk mengukur rugi laba karir kita. Apakah karir kita ini mencatat rugi atau laba, bisa kita tentukan dengan mengukur selisih dari berapa yang kita dapatkan dan berapa yang kita keluarkan untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Setiap bulan kita mendapatkan gaji, insentif dan tunjangan lainnya. Itulah angka dalam kolom ‘pendapatan’ kita. Selama sebulan itu, kita mengeluarkan ongkos perjalanan ke kantor, makan siang, membeli baju dan sepatu kerja, serta aspek-aspek terkait pekerjaan lainnya. Itulah angka dalam kolom ‘biaya’ kita. Setelah itu, tinggal dihitung deh selisihnya. Maka kita pun akan menemukan neraca rugi labanya.
Pertanyaan saya; apakah neraca rugi laba Anda positif atau negative? Saya yakin, di posisi Anda hasilnya positif. Artinya, Anda tidak harus nombok untuk menjalani karir ini. Jika negatif, sebaiknya Anda segera melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan. Tetapi jika positif, maka sebaiknya kita; mulai mengurangi keluhan dan sikap-sikap yang bisa menurunkan kualitas kerja dan dedikasi kita kepada profesi yang kita tekuni ini. Kemudian berfokus untuk mendayagunakan lebih banyak lagi kapasitas diri kita sehingga kita, bisa mendapatkan lebih banyak lagi ‘laba’ dari karir kita ini.
“Iya, tapi kan yang menjadi persoalannya bukan soal rugi-laba. Masa sih professional sekaliber kita dengan pekerjaan yang setumpuk-tumpuk ini hanya dibayar segini. Mestinya kan lebih dari ini.” Kita boleh saja berkata demikian. Persis seperti perusahaan yang sudah mencatatkan laba itu menginginkan revenue yang lebih banyak lagi. CEO kita kan juga suka bilang; target pencapaian laba kita tahun depan naik ‘sekian’ persen. Jadi wajar saja jika kita pun menginginkan bayaran yang lebih banyak lagi. Tapi, bagaimana caranya? Lihat saja, apa yang dilakukan oleh perusahaan ketika ingin meningkatkan laba. Mereka merancang strategi bisnis-nya kan? Kita pun sama, mesti merancang strategi pengembangan karir kita; supaya kelak karir kita tidak ‘begini-begini’ saja.
Dalam banyak situasi, biasanya perusahaan mesti menambah investasinya untuk bisa mendapatkan revenue yang lebih tinggi. Pertanyaannya; apakah kita juga bersedia meningkatkan ‘investasi’ kita untuk mendapatkan bayaran yang lebih tinggi? Bayangkan jika perusahaan Anda menginginkan revenue dan laba yang lebih tinggi namun tidak mau menambah investasinya. Ibaratnya, target top line dan bottom line dinaikkan dengan cara menekan ekspensisnya. Kita sering berhadapan dengan perusahaan seperti itu. Dan pada umumnya, karyawan menganggap itu sebagai sebuah kesalahan yang besar. Kita juga sering melihat karyawan yang ingin mendapatkan bayaran lebih tinggi tapi tidak mau mendedikasikan dirinya lebih banyak kepada pekerjaannya. Dan kita, sering tidak menyadari jika sikap seperti itu pun sama kelirunya.
Perusahaan sukses, terlebih dahulu menanamkan investasinya. Barulah kemudian mendapatkan hasilnya. Dalam karir kita juga demikian, jika kita bekerja dengan pola pikir ‘gue bakal kerja lebih baik, kalau dibayar lebih banyak dari ini,’ maka kita tidak akan pernah sampai kepada standard bayaran yang lebih tinggi seperti yang kita inginkan itu. Kita mesti terlebih dahulu menunjukan standar kerja yang melampaui bayaran yang kita terima itu, sehingga kita bisa dinilai layak mendapatkan bayaran atau imbalan yang lebih tinggi.
Kita juga sadar bahwa setiap jenis bisnis mempunyai batas kewajaran ROInya. Berbeda industry, berbeda juga karakter bisnisnya dan berbeda pula tingkat ROI wajarnya. Ada yang 15%. Ada yang 20%. Bahkan ada bisnis yang labanya sedemikian tipis sehingga ROInya hanya 5% saja, misalnya. Persis seperti karir kita juga. Jika kita bekerja di industry tertentu, maka standardnya mungkin berbeda dengan teman kita yang bekerja di industry yang lainnya. Jadi meskipun jabatan kita sama-sama ‘supervisor’ misalnya, tetapi jika kita bekerja di industry yang berbeda; maka boleh jadi standard gaji dan tunjangan-tunjangan kita pun berbeda. Oleh karenanya, tidak banyak manfaatnya jika kita membanding-bandingkan salary kita dengan orang lain dengan posisi atau jabatan yang sama di industry yang berbeda. Hanya akan membuat kita semakin panas hati saja.
Skala atau ukuran perusahaan pun ada pengaruhnya. Industrinya sama. Tapi skala perusahaannya berbeda, maka mungkin salary dan tunjangannya berbeda. Kita mau mengeluhkan apa lagi kepada perusahaan jika tuntutan kita melampaui hitung-hitungan rugi labanya? Teman saya yang bekerja di perusahaan lokal bersekala sedang misalnya, mempermasalahkan fasilitas kendaraan yang tidak setara dengan temannya di perusahaan raksasa tingkat global. Ya tidak akan ketemu. Walhasil, keseharian kerjanya hanya dipenuhi oleh kekesalan dan gerutuan; sehingga dia tidak benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk membuat kinerja dan reputasi semakin cemerlang. Dia bukan hanya rugi soal kendaraan itu. Dia juga rugi karena kehilangan banyak peluang untuk membangun karirnya lebih baik dari itu.
Jadi apa sebenarnya manfaat melakukan analisis terhadap rugi-laba karir kita ini? Untuk memastikan bahwa kita ini sudah berada dijalur yang benar dalam membangun karir. Jangan sampai kita hanya mendapatkan lelahnya saja. Namun, juga jangan sampai kita diperbudak oleh pikiran negatif terhadap perusahaan. Boleh jadi, sebenarnya kita ini sudah mendapatkan ROI karir yang layak. Namun, gaya hidup kita melampaui apa yang kita dapatkan sehingga sering merasakan betapa kurangnya penghasilan kita. Jika kita menyikapi situasinya dengan bijak, maka kita akan tahu masalah utamanya. Mungkin, bukan karena perusahaan membayar kita secara tidak layak. Melainkan karena kita ‘membutuhkan’ penghasilan yang lebih banyak. Nah, jika itu masalahnya; maka solusinya bukan dengan gerutuan dan tuntutan kenaikan gaji pada perusahaan. Melainkan dengan meningkatkan kualitas pribadi kita, supaya kinerja dan profesionalisme kita meningkat. Sehingga, kita layak mendapatkan tanggungjawab dan bayaran yang lebih banyak.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Pajak)
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman
Catatan Kaki:
Hitung-hitungan soal untung rugi itu memang wajar. Tetapi, kita sering menihilkan keuntungan non-material. Padahal, boleh jadi keuntungan non-material itu sangat besar nilainya bagi hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar