Catatan Kepala:
”This is my career, then I must take all the responsibilities of the development processes on my own.”
Sudah berapa lamakah Anda bekerja di perusahaan tempat Anda bekerja sekarang? Dari masa kerja itu, berapa jam-kah Anda mendapatkan pelatihan yang difasilitasi oleh perusahaan untuk mengembangkan potensi diri Anda? Sampai 100 jam dalam setahun? Setahu saya, sangat jarang sekali perusahaan yang menyediakan waktu hingga 100 jam pelatihan kepada karyawannya, kecuali pada tahun pertama rekrutmen. Apakah hal itu menunjukkan jika perusahaan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bawahan? Tidak juga. Budget dan kemampuan perusahaan tidaklah tanpa batas. Sedangkan kapasitas diri kita ‘mungkin’ nyaris tidak terbatas. Maka menunggu perusahaan untuk selalu menyediakan kesempatan mengembangkan diri menjadi terlalu beresiko. Bukan berarti kita berhenti berharap. Tetapi, kitalah yang mesti lebih proaktif untuk mendidik diri sendiri. Minimal, 100 jam dalam setahun. Mungkinkah?
Saya memulai karir sebagai seorang salesman. Dan sejak awal, saya sudah gandrung dengan berbagai macam pelatihan. Suatu ketika, tanpa diduga saya bertemu dengan seorang top eksekutif sebuah perusahaan multinasional di acara training yang kami ikuti di luar negeri. “Berapa orang dari perusahaan Anda?” beliau bertanya. “Saya sendiri Pak,” jawab saya. “Dan saya tidak mewakili perusahaan tempat saya bekerja.” Beliau seolah tak percaya. Seorang karyawan, mengikuti pelatihan mahal di luar negeri dengan biaya sendiri. “Wah, kalau begitu sebentar lagi Anda pindah kerja ya?” Sekarang gantian saya yang bingung. “Iya dong, seharusnya perusahaan membayari Anda, kan kalau Anda nambah pinter perusahaan juga yang untung,” katanya. “Bapak betul,” saya bilang. “Namun, this is my career. Then I must take all the responsibilities of the development processes on my own….”. Jika kita yakin bahwa ini adalah karir kita, maka tidak selayaknya kita menggantungkan pengembangannya kepada pihak lain. Termasuk kepada perusahaan tempat kita bekerja. Kitalah yang paling bertanggungjawab terhadap baik dan buruknya. Berkembang atau menyurutnya. Pihak lain, tidak lebih dari pelengkap saja. Itu pertanda kita bertanggungjawab terhadap proses mendidik diri sendiri. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mengambil tanggung jawab dalam mendidik diri sendiri, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:
1. Menyisihkan pendapatan untuk mendidik diri sendiri.
Perusahaan tempat Anda bekerja mungkin menyediakan budget khusus untuk membiayai beragam program pelatihan. Namun, mungkin tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh karyawannya untuk mendapatkan 100 jam proses pendidikan setiap tahunnya. Maka, ada baiknya jika Anda belajar menyisihkan sebagian dari pendapatan bulanan Anda untuk ditabung dan dialokasikan bagi proses pengembangan diri Anda sendiri secara mandiri. Selain terbatasnya budget perusahaan, hal ini juga penting untuk memastikan Anda memperoleh topik atau subyek pelatihan yang Anda benar-benar butuhkan. Mengapa? Karena boleh jadi, materi training yang disediakan dan dibiayai oleh perusahaan cenderung bersifat teknis saja. Padahal, hidup Anda melampaui hal-hal teknis. Sehingga Anda membutuhkan ilmu hidup, bukan sekedar keterampilan teknis. Tabungan yang Anda sisihkan itu, memungkinkan Anda untuk mengikuti topik atau subyek pelatihan yang Anda pilih sendiri.
2. Pilihlah pelatihan-pelatihan yang Anda butuhkan.
Pelatihan teknis, adalah wajib hukumnya. Entah Anda suka, atau tidak. Mebosankan, ataupun menyenangkan. Karena pelatihan itu menunjang langsung pelaksanaan pekerjaan Anda. Namun, untuk pelatihan non teknis; Anda tidak perlu asal telan begitu. Mulailah terlebih dahulu dengan mengidentifikasi ‘kebutuhan’ pribadi Anda. Sederhananya; Anda butuh mempelajari apa? Setelah itu, Anda boleh menentukan tingkat kedalamannya; apakah Anda ingin sekedar memahaminya saja. Atau sampai ke level terampil dalam aplikasi praktisnya. Untuk hal-hal yang berkorelasi langsung dengan kualitas kerja, sebaiknya program 100 jam mendidik diri Anda bisa menyentuh hingga level terampil melakukannya. Dari sana Anda bisa menentukan pelatihan mana yang harus Anda prioritaskan, mana yang menjadi tambahan, dan mana yang sama sekali tidak perlu dipertimbangkan. Siapa yang mengetahui secara pasti kebutuhan itu? Anda sendiri. Bukan atasan atau orang HRD. Sekalipun demikian, saya sangat menyarankan agar pelatihan dalam bidang ‘kepemimpinan’ masuk dalam daftar pelatihan prioritas Anda. Mengapa? Karena tidak seorang pun bisa sukses dalam karirnya, tanpa kemampuan memimpin yang mumpuni. So, pilihlah pelatihan-pelatihan yang Anda butuhkan saja. Dan pastikan pelatihan tentang kepemimpinan termasuk didalamnya. Khususnya pelatihan kepemimpinan yang memberikan ilmu dan insight-insight baru, serta relevan dengan tantangan kepemimpinan aktual. Bukan sekedar mengajarkan pakem-pakem baku belaka.
3. Pilihlah orang yang tepat untuk dijadikan tempat berguru.
Setiap guru, punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ada yang jago story telling. Ada yang piawai berkomunikasi interaktif. Ada yang berbicara menggebu-gebu. Ada pula yang tutur katanya halus, perlahan, dan bahkan nyaris seperti diam. Itu soal gaya bicara. Anda boleh pilih yang mana saja Anda suka. Namun ada satu kriteria mutlak yang harus Anda temukan pada orang yang akan Anda jadikan tempat berguru. Yaitu; dia harus benar-benar orang yang ahli dibidangnya. Gaya berbicara, teknik mendidik, metode pembelajaran; bisa beragam macam. Terserah saja. Seperti halnya dunia persilatan. Ada guru yang sedemikian santun dan lembutnya seperti para master di kuil Shaolin. Ada pula guru yang nyeleneh bin edhian wal gemblung seperti halnya Tante Sinto Gendheng. Selama tetap menjaga nilai-nilai kesusilaan, maka semua perbedaan itu tidak usah dipermasalahkan. Dan sebagai murid, sebaiknya Anda ikuti saja teknik yang diterapkan oleh guru atau trainer Anda. Namun soal syarat keahlian ini; Anda tidak boleh bertoleransi. Mengapa? Karena berguru kepada orang yang asal bisa bicara saja – tanpa ilmu dan keahlian yang mumpuni – hanya akan membuang waktu dan uang Anda secara sia-sia. Mungkin Anda hanya dapat hebohnya saja. Atau, sekedar puas berhaha hihi saja. Tapi kalau tak ada ilmu yang Anda bawa pulang? Program 100 jam mendidik diri Anda bisa berantakan. Maka kenalilah. Telitilah. Selidikilah ‘kandidat-kandidat’ yang layak untuk Anda jadikan guru. Andalah bossnya. Dan Andalah. Yang memilihnya.
4. Izinkan atasan memahami minat belajar Anda.
Mantan atasan saya tahu persis jika saya punya minat yang tinggi dalam proses belajar. Pada awalnya, tidak mudah untuk mendapatkan dukungan khususnya ketika budaya belajar belum tumbuh dengan subur. Namun seiring berjalannya waktu, segala sesuatunya berkembang seolah semua hal memberikan dukungan. Saya tidak mudah mendapatkan cuti untuk liburan, misalnya. Tapi, jika permintaan cuti itu digunakan untuk proses mendidik diri sendiri, beda. Atasan saya juga tahu bahwa reward berupa proses pembelajaran jauh lebih berdampak bagi saya daripada imbalan berupa uang setiap kali beliau memberi penugasan berat. Kadang atasan saya yang mengikuti pelatihan tertentu di luar negeri pulang dengan oleh-oleh modul khusus untuk saya. Kadang membelikan buku bermutu. Bahkan tak jarang beliau memberikan persetujuan pada proposal untuk mengikuti sebuah training non teknis yang saya ajukan. Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan jika kita bersedia untuk mengizinkan atasan memahami minat belajar kita. Khususnya, ketika kita bisa menunjukkan kepada atasan bahwa; ilmu yang kita pelajari itu dibawa pulang dan dipraktekkan dalam menjalani pekerjaan kita sehari-hari. Jika Anda bisa menunjukkan itu kepada atasan Anda, maka atasan Anda akan melihat bahwa menginvestasikan sejumlah dana untuk mengembangkan diri Anda, akan benar-benar memberi dampak positif bagi perkembangan dan pencapaian perusahaan. Selanjutnya? Silakan Anda coba sendiri.
5. Menyingkirkan gengsi dari dalam hati.
Ketika jabatan kita sudah tinggi – entah kenapa – suka ada perasaan gengsi untuk belajar lagi. Rasanya gimanaaaa gitu kalau duduk di kelas seperti orang-orang kemarin sore itu. Padahal, dalam hati sih nyadar betul jika ada ilmu yang kepingiiiin sekali kita dalami. Anda tidak merasa begitu? Baguslah itu. Kita ini adalah mahluk pembelajar. Long life learning, katanya kan. Saya pribadi melihat justru proses belajar itu sangat efektif terjadi pada orang-orang yang tetap rendah hati. Bahkan sekalipun ilmu mereka sudah sangat tinggi. Ketika minat belajar sepanjang hayat ini dikombinasikan dengan pemilihan subyek yang kita butuhkan pada poin-2 dan kecanggihan dalam pemilihan orang yang tepat untuk kita jadikan sebagai tempat untuk beguru pada poin-3, maka sekarang kita memiliki peluang untuk benar-benar mampu mengoptimalkan proses mendidik diri yang kita canangkan itu. Sehingga sekarang kita mempunyai the golden rule yang baru, yaitu: menyingkirikan gengsi – memilih subyek yang tepat – memilih orang yang tepat untuk berguru. Dengan menerapkan golden rule itu, program 100 jam mendidik diri kita tentu akan semakin besar maknanya terhadap proses eksplorasi dan pemanfaatan potensi diri yang kita miliki. So, mari singkirkan gengsi dari dalam hati. Supaya kita, tetap memiliki peluang untuk menyerap sebanyak mungkin ilmu yang tiada henti-hentinya berdatangan.
Ibu saya. Seorang perempuan sederhana. Namun nasihatnya melampaui fatwa konsultan-konsultan pengembangan diri kelas dunia. Ketika pertama kali saya harus meninggalkan rumah karena lokasi sekolah berada jauh dari kampung kami, Ibu saya menasihatkan;”Dadang, jangan pernah lupa sholat. Dan jangan pernah berhenti belajar.” Bagi seorang muslim, sholat adalah penyambung tali ruhani dengan Ilahi. Dan Ibu saya, menempatkan ‘proses belajar’ di posisi kedua setelah nasihatnya tentang sholat. Ibu saya faham, bahwa Tuhan telah menciptakan kita dengan sedemikian istimewanya. Dengan sedemikian tinggi potensinya. Dengan sedemikian besar kapasitasnya. Namun, kita sering lupa untuk mengeksplorasi dan menggalinya hingga berhasil mengaktualisasikannya. Belajar adalah proses awal agar mampu mendayagunakan seluruh potensi itu. Maka berhentilah untuk menyerahkan seluruh proses mendidik diri kepada perusahaan tempat kita bekerja. Sudah saatnya untuk mengambil sebagian besar dari tanggungjawab itu. Sehingga, minimal kita bisa mendidik diri sendiri selama 100 jam setahun. Biarlah fasilitas dari perusahaan diposisikan sebagai pelengkapnya saja. Sehingga ada atau tidaknya sokongan perusahaan terhadap proses pengembangan diri Anda; tidak akan pernah menyurutkan usaha Anda. Untuk. Mengembangkan diri. Yuk marrreeee….
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Training ”Natural Intelligence Leadership” 2-3 April 2012
Info lebih lanjut: 0812 19899 737 atau 0812 1040 3327.
Catatan Kaki:
Setiap orang memiliki 8,760 jam per tahun. Bisakah kita menyisihkan 100 jam untuk mendidik diri sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar