Marah Tidak Pada Tempatnya

Anda pernah marah nggak? Ada kalanya, marah itu diperlukan. Khususnya ketika menghadapi situasi kritis atau orang yang luar biasa ndablek. Maka marah itu baik, jika dilakukan dengan tepat. Tapi marah menjadi tidak baik jika dilakukan tidak pada tempatnya.
 
Contohnya, kemarahan Ibu Risma di Surabaya, menghasilkan banyak perbaikan. Tapi pemimpin lain yang sering marah tidak pada tempatnya, malah tidak punya wibawa sama sekali. Kalau pemimpin yang kelemar-kelemer, gak bisa marah? Diremehkan anak buah.
 
Kemarahan juga mesti jelas kemana arahnya. Marah yang tidak jelas, hanya menghasilkan permusuhan. Anda akan terima dimarahi orang jika jelas masalahnya, kan? Tapi Anda tidak akan terima jika tanpa penyebab yang jelas seseorang memarahi Anda. Bahkan Anda bisa mengira jika orang itu sedang setress. Atau kurang waras.
 
Kemarin, ada yang menelepon saya. Kata 'hallo' saya disambitnya dengan umpatan pedas yang bisa membuat telinga panas.
 
"Maaf, masalah Anda apa?" saya bilang.
"Saya tidak suka ya Anda setiap hari mengirim email kepada saya!" Hardiknya.
 
Saya bertanya siapa namanya, dan email apa yang dimaksudnya. Namanya 'A*#@'. Dan email yang dimaksudnya adalah artikel saya.
 
Untuk menulis satu artikel saja saya mesti maksa menyisihkan waktu khusus. Jika tidak punya komitmen kuat, nggak mungkin bisa menulis artikel sesering ini. Mengirim email spam? Nggak sempat.
 
"Pokoknya saya mau Anda berhenti ngirim email ke saya! Email saya buat kerja! Bukan buat yang beginian! Apa-apaan sih ini!" Omelnya.
 
"Anda dapat email itu dari mana?" Saya bertanya.
"Ya dari Anda dong!" Hardiknya.
"Ibu maaf, saya tidak kenal Anda. Saya hanya mengirimnya ke milist dan website saya."
"Saya juga tidak kenal Anda! Dan saya tidak pernah subscribe apapun ke Anda!" Bentaknya.
"Silakan hapus saja jika Anda tidak suka." Jawab saya. "Atau Anda keluar saja dari milist yang Anda ikuti."
 
"Oh nggak bisa! Anda harus hapus email saya dari list Anda!" Teriaknya. "Anda cari dong email saya. Anda kan yang punya servernya!"
 
"Saya tidak punya server," Saya bilang. "Dan saya bukan moderator di milist yang Anda ikuti. Jadi saya tidak bisa bantu Anda untuk menyelesaikan masalah ini. Tengkyu very much."
 
Itu adalah kalimat terakhir saya. Lalu saya biarkan beliau menyerocos sendiri sampai panggilan teleponnya terputus. Entah beliau lelah. Entah pulsanya habis. Entah batere teleponnya menipis.
 
Itu adalah contoh marah yang tidak pada tempatnya. Nggak menghasilkan apa-apa selain luka di kedua belah pihak. Luka saya sih sudah sembuh. Karena saya memikirkan mungkin orang itu sedang menghadapi masalah berat sehingga jadi emosional begitu.
 
Saya malah kasihan kepadanya. Tidak terbayangkan betapa beratnya beban yang mesti dipikulnya. Kalau hidup Anda tenteram dan damai, serba berkecukupan, harmonis, dan bahagia; nggak mungkin Anda menelepon orang lain hanya untuk menumpahkan kemarahan kan?
 
Kita, tidak kekurangan contoh nyata kok untuk marah pada tempatnya. Bu Tri Rismaharini dan Pak Ridwan Kamil adalah contoh figur zaman sekarang yang bisa memanfaatkan energi marah. Bung Karno menggunakannya untuk menegakkan wibawa negara di mata dunia.
 
Kalau pun ada tokoh publik yang suka marah-marah sambil mengumbar kata-kata kotor dari mulutnya, ya jangan figur seperti itu dong yang dicontohnya. Karena kata-kata kita, merupakan gambaran dari jiwa kita.
 
Semakin bersih jiwa kita, semakin baik kosa kata yang kita gunakan. Dan sebaliknya. Bahkan, jiwa kita bisa semakin bersih, jika semakin banyak kata-kata bersih yang kita ucapkan.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!

Catatan kaki:
Marah itu merupakan mekanisme normal pada sistem tubuh kita. Jika bisa menggunakannya dengan cara yang tepat, maka marah akan berdampak positif. Sehingga secara pribadi maupun team, kita bisa lebih produktif.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar