Menuding Orang Lain

Untuk setiap kejadian yang kita alami. Pasti ada yang bertanggungjawab kan? Kita boleh menuntut pertanggungjawaban darinya. Sayangnya, kita sering mengira bahwa orang lain atau pihak lain lebih bertanggungjawab atas kekacauan hidup kita dibanding diri kita sendiri. Sehingga kita, gampang menuding orang lain.
Contoh aktualnya nih. Orang yang sehari-hari hidup di Jakarta tentu tahu bahwa tahun ini, curah hujan tidak separah tahun-tahun sebelumnya. Ketinggian air di berbagai bendungan pengontrol juga normal. Tapi kenape Jakarta bisa banjir?
Kalau pak Gubernur bilang sih gara-gara ada yang melakukan sabotase. Dan, katanya, gara-gara PLN mematikan listrik ke pompa air milik pemda. Saya bukan gubernur. Jadi cara berpikir saya tidak seperti beliau.
Kita patut bersyukur. Karena Allah sayang banget sama kita. Coba dibiarkanNya hujan terus mengguyur. Mungkin hari ini kita lebih menderita lagi karena kebodohan sendiri. Tapi dihentikanNya hujan itu. Sehingga sekarang, kesulitan kita sudah agak mendingan.
Curah hujan tidak seberapa. Tapi senin kemarin Jakarta terendam lagi. Meski rintik-rintik, hujan tak tampak mau berhenti. Tapi you know what, hari selasa siang, langit tiba-tiba cerah sejak selepas dhuhur. Bahkan sore harinya, saya masih bisa menikmati sunset dari gedung tempat latihan fitness.
Kenapa hujan berhenti, padahal BMKG pun memperkirakan hujan bakal terus turun? Bahkan mereka menghimbau warga untuk mewaspadai banjir kiriman. Nyatanya, semua perkiraan manusia tidak tebukti. Kenapa?
Mungkin banyak jawabannya. Tapi yang jelas, Allah sayang banget sama kita. Dia tahu bahwa kalau hujan tidak dihentikanNya sejenak, maka kita tidak akan mampu menanggung akibatnya. Sebab dengan sikap pemimpin yang gemar menuding pihak lain atas kesialan dan kegagalannya menjalankan amanah, maka rakyat hanya akan menjadi korban.
Kebiasaan menuding orang lain bukan hanya menunjukkan nihilnya sikap ksatria, melainkan juga mengurangi kesadaran kita terhadap akar masalah. Orang Jakarta tahu persis jika selokan pada dangkal oleh pasir dan mampet karena sampah. Bukankah sudah menjadi kebiasaan kita membuang sampah dikali? Pengendara motor melempar bungkusan sampah rumah tangga dipinggir jalan. Pengendara mobil mewah pintar mengeluarkan sampah melalui celah-celah jendela disepanjang jalan yang dilaluinya.
Dan pemerintah, tetap rajin memberi ijin alih fungsi rawa-rawa resapan air untuk menjadi mall, apartemen, plus pemukiman kaum elit. Bahkan, pantai Jakarta yang cuman secuil itu pun direklamasi untuk membangun gedung-gedung pencakar langit. Nggak pandang kalau disitu ada kanal pembangkit listrik PLN.
Kalau saya memaparkan ini, tidak dalam konteks mengomentari cara para pemimpin bangsa berkilah dan berdalih. Karena belum tentu beliau-beliau sepaham soal ini. Biar sajalah, toh para pejabat paham apa yang seharusnya mereka lakukan untuk menjalankan amanat rakyat.
Saya lebih tertarik untuk menjadikannya ibroh atau pelajaran. Bahan perenungan bahwa kita, sering lebih suka mengkambing putihkan pihak lain daripada mengakui kekurangan peran kita sendiri terhadap hidup kita.
Masalah kita tidak akan pernah selesai jika kita hanya fokus kepada apa yang tidak orang lain lakukan untuk kita. Mesti diri kita sendiri terlebih dahulu yang dihisab atas terlaksananya tanggungjawab pribadi kita, sebelum menuding orang lain.
Umar Bin Khatab menasihatkan; “Hisablah dirimu sendiri.” Maksudnya; evaluasi apa yang sudah kamu sendiri lakukan, alias introspeksi diri. Sungguh sebuah nasihat yang semakin relevan dizaman ini. Nasihat ini bukan untuk pemerintah, karena pemerintah mungkin punya berbagai macam alasan dan beragam kepentingan sehingga mereka tidak mudah lagi menerima saran dan masukan. Ini adalah nasihat untuk individu-individu yang ingin hidupnya lebih baik dari sebelumnya.
Masalah kita, tidak mungkin diselesaikan oleh orang lain. Mereka pun punya masalahnya sendiri kok. Boro-boro mengurusi kita, masalah mereka sendiri saja rumitnya minta ampun. Nggak mungkin kita yang mereka dahulukan kan? Kitalah yang mesti mengambil tanggungjawab pribadi terhadap penyelesaian masalah dan tantangan hidup kita sendiri. Karena tidak ada orang yang lebih berkepentingan, dan tidak pula ada orang yang lebih bertanggungjawab terhadap hidup kita selain diri kita sendiri.
Maka, mulai sekarang mari belajar berhenti menuding orang lain. Dan mulai menunaikan lebih banyak tanggungjawab yang kita emban. In sya Allah, kita akan lebih mampu mengontrol hidup kita. Apakah itu berkaitan dengan karir kita, atau aspek kehidupan kita yang lainnya. Kalau pun sekarang ini semakin banyak pesohor yang lebih suka menunjuk hidung orang lain, nggak usah heran. Karena, memang mendekati akhir zaman mah bakal makin banyak keanehan dan terbolak baliknya berbagai hal. Termasuk soal benar dan salah. Halal dan haram. Hak dan bathil. Semakin banyak yang terbalik.
Semua itu, merupakan ujian sekaligus pelajaran. Supaya kita semakin ingat kepada akhirat. Bahwa akhirat, adalah puncak segala pertanggungjawaban pribadi kita dihadapan Ilahi. Disana, kita tidak bisa menuding orang lain atas buruknya catatan amal perbuatan kita selama hidup. Sebab, sudah ditegaskan dalam Al-Quran bagaimana manusia berusaha saling melempar tanggungjawab, dan saling menuduh satu sama lain. Sedangkan Allah, menolak semua tuduhan itu. Karena diakhirat, setiap orang akan memikul tanggungjawab masing-masing; tanpa tertukar sedikit pun dengan orang lain. Masih suka menuding orang lain? Mari belajar mawas diri. Introspkesi. Mengevaluasi diri sendiri. Sekarang.
Mari Berbagi Semangat!
Catatan kaki:
Memang sih, paling enak kalau punya seseorang atau sesuatu untuk dituding atas kekacauan hidup yang kita alami. Tapi itu hanya bisa dilakukan jika kita punya kuasa lebih besar daripada mereka yang kita tuding. Andai mereka lebih kuasa dari kita, maka tidak mungkin bisa kita menudingnya kan? Namun untuk mawas diri, kita tidak perlu adu kekuasaan. Asal tahu diri, maka kita bisa melihat hal-hal yang perlu kita perbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar