Landasan Untuk Setiap Tindakan

Pic. Source: blackgirlslim.com
Di tatar sunda ada peribahasa yang bunyinya begini; “Moro julang, ngaleupaskeun peusing”. Julang itu adalah sebutan untuk hewan sejenis burung yang jago terbang. Sedangkan Peusing itu adalah sebutan kami untuk trenggiling yang jalannya lamban. Moro julang, ngaleupaskeun peusing artinya melepaskan sesuatu yang sudah ada ditangan kita, untuk mengejar-ngejar hal lain yang belum jelas juntrungannya. Julang itu sebenarnya belum tentu lebih bernilai daripada Peusing. Namun, gengsinya jelas lebih tinggi. Sama seperti kita yang sebenarnya sudah punya segala sesuatu, namun masih mengejar hal-hal lain demi gengsi yang lebih tinggi. Meskipun, untuk itu kita mesti mengorbankan apa yang selama ini sudah kita miliki. Tapi, apa salahnya kita mengejar gengsi yang lebih tinggi. Iyya kan? Iyya sih. Tapi….

Jadi gimana dong. Memangnya kita mesti pasrah saja kepada keadaan? Tidak boleh melakukan ini dan itu selain menerima apapun adanya? Tidak juga. Sebenarnya, peribahasa itu mengajari kita untuk memperhitungkan segala tindakan ‘yang akan kita ambil’. Maksudnya, sebelum melakukan sesuatu itu ditimbang-timbang baik-buruknya, untung-ruginya, dan dampak yang ditimbulkannya. Bukankah kita biasa menyesal belakangan? Itu loh akibatnya jika kita tidak matang membuat perhitungan ‘sebelum’ mengambil suatu tindakan.  Boleh mengejar Julang, tapi bisakah kita melakukannya tanpa mesti kehilangan Peusing? Itu penting. Supaya kita bisa mendapatkan apa yang kita kejar-kejar itu tanpa harus mengorbankan hal lain yang sudah kita miliki.

Kalau apa yang kita dapatkan itu lebih besar dan lebih banyak dari yang kita korbankan, kan nggak apa-apa dong Kang? Nggak apa-apa, jika hanya menyangkut materi. Tetapi, bukankah pengorbanan itu sering kali bukan soal materi. Justru ada lebih banyak pengorbanan non material yang sering kita abaikan. Misalnya, hubungan kita dengan seseorang menjadi buruk hanya karena kita sama-sama ngotot dengan kejaran kita masing-masing. Teman sekantor bisa tidak saling sapa. Tetangga, saling membuang muka. Padahal, penyebabnya sering sekedar ego yang tidak seberapa.

Pengorbanan harta, bisa dicari gantinya. Pengorbanan lainnya, apa bisa? Bahkan ada pengorbanan yang lebih besar lagi dari itu. Yaitu, keridoan Ilahi. Perhatikanlah tingkah polah kita. Bukankah kita suka mengesampingkan bagaimana pandangan Tuhan terhadap apa yang kita lakukan? Anda tidak begitu ya? Baguslah jika demikian. Saya, kadang-kadang masih juga mengabaikan sudut pandang Allah terhadap tindakan yang saya lakukan. Tahu sih jika itu dosa, tapi kadang masih dilabrak juga. Lalu didalam hati saya berkata; tenang sajalah, toh Tuhan kan maha pengampun. Dan saya pun melanjutkannya. Astagfirullah.

Sahabatku, jika harta dan kebendaan yang kita lepaskan demi kejaran-kejaran baru itu, mungkin nilainya bisa dikompensasi. Nanti kalau kita berhasil mendapatkan apa yang kita kerjar itu kan otomatis bisa ‘balik modal’ juga ya. Tetapi jika iman yang kita korbankan? Bagaimana caranya kita menggantinya? Mungkin kita tidak sampai mengorbankan iman dengan berpindah keyakinan. Tapi dengan berani menghalalkan segala cara, seolah kita menganggap jika Tuhan tidak melihat perbuatan kita. Kalau kita tahu hal itu dilarang Tuhan, namun melakukannya juga; kan itu sama artinya menantang Tuhan. Bukankah itu merupakan sebuah kerugian besar, sahabat?

Selama ini kita sudah mendapatkan ridho Ilahi. Meski mungkin hidup kita masih dalam taraf pas-pasan. Wajar jika kita berjuang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Tetapi, jika perjuangan itu kita lakukan dengan mengorbankan keridoan Ilahi yang sudah kita miliki ini; maka kita termasuk orang yang moro julang ngaleupaskeun peusing itu. Oleh karenanya sahabat, marilah kita berhitung sebelum bertindak. Supaya kita hanya mengambil tindakan yang lebih menguntungkan bagi kita. Cirinya apa?

Yaitu, ketika apa yang kita miliki saat ini tidak jadi ludes karena tindakan itu. Khususnya kepemilikan hakiki yang sekarang Tuhan berikan kepada kita. Yaitu kepemilikan kita atas ridhoNya. Dengan tekad itu, kita hanya akan melakukan tindakan-tindakan yang disukaiNya saja. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Sehingga kita, akan termasuk kedalam kelompok yang Rasulullah SAW sebutkan sebagai ‘sebaik-baiknya manusia’. Sebab sabda beliau “Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” Bisakah kita menjadi sebaik-baiknya manusia itu, sahabat? Bisa, jika kita menjadikan keridhoan Ilahi sebagai landasan utama; bagi setiap tindakan yang kita lakukan. Insya Allah.

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Jika kehilangan harta, mungkin masih bisa dicari penggantinya. Tapi jika sampai kehilangan rido Ilahi, duh bagaimana bisa mendapatkannya lagi? Karena kalau sudah dikendalikan oleh hawa nafsu, taubatpun belum tentu kita mau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar