Jernih Di Lingkungan Yang Keruh

Pic. Source: www.superclean-brighton.com
Pernahkah Anda merasa jika lingkungan kerja Anda kurang kondusif? Setidaknya, Anda pernah mendengar orang lain mengatakannya. Misalnya saja, system yang sudah buruk sejak dulu sehingga tidak memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik sekarang. Atau, kebijakan atasan yang otoriter itu sulit untuk dihindari. Atau, budaya kerja yang ada sudah sedemikian buruknya sehingga tidak mungkin lagi untuk berubah menjadi baik. Lantas, mau gimana lagi dong? Menyerah saja deh pada keadaan. Walhasil, keberadaan kita disana tidak memberikan dampak positif apa-apa. Kita, ikut larut dengan keadaan yang tidak kondusif itu. Padahal dulu sebelum masuk kesitu, kita punya idealisme yang tinggi. Dan kita, berniat untuk melakukan yang terbaik disana. Nyatanya? Hanya semangat sebentar. Setelah itu, ikut melempem juga.

Di sebagian terbesar wilayah Kalimantan, tidaklah terlampau mudah untuk mendapatkan air bersih. Kondisi tanah bergambut menyebabkan air melarutkan berbagai macam sisa tumbuhan, lumpur, atau bahan-bahan organik alami lainnya. Sehingga, air di sumur yang kami gali menjadi keruh. Jika Anda belum bisa membayangkan keruhnya seperti apa, tengok sajalah kedalam gelas berisi kopi kegemaran Anda itu. Warnanya seperti apa? Coklat kehitaman, dengan butiran-butiran halus dalam setiap tetesnya. Persis begitu tuch warna air sumur kami. Bandingkan dengan air dari sumur di rumah Anda yang bening itu. Air bening seperti itulah yang kami dambakan. Tapi apa boleh buat, lingkungan tempat tinggal kami menyediakan air alami yang bertolak belakang.

Seperti situasi di banyak kantor juga sih. Kita mendambakan keadaan yang serba bersih, dan serba transparan. Tapi malah dihadapkan pada situasi sebaliknya. Anda boleh menambahkan situasi buruk lainnya kedalam daftar itu. Dari apa yang Anda rasakan. Anda lihat. Dan Anda dengar. Pokoknya, ada begitu banyak kondisi atau perilaku dan situasi yang membuat lingkungan kerja kita menjadi sedemikian keruhnya. Kondisi seperti ini bukan merupakan monopoli perusahaan Negara alias BUMN. Di perusahaan swasta juga ya sami mawon. Hanya bentuk dan kadarnya saja yang berbeda-beda. Tapi, soal ‘kekeruhannya’ ya sama sajalah. Lucunya, kebanyakan orang hanya bisa mengeluh saja. Lalu menggunakan kondisi yang buruk itu sebagai alasan dirinya tidak berkinerja tinggi.

Orang pinggiran seperti kami juga banyak yang pasrah saja pada keadaan. Sehingga, suka atau tidak kami mandi mencuci dan memasak dengan air yang keruh itu. Itulah sebabnya kenapa Anda bisa melihat kami beraktivitas harian di sepanjang sungai yang menghitam itu. Sudahlah, terima saja apa adanya. Tidak usah neko-neko. Adanya begini ya begini saja. Sama persis dengan sikap kita para professional yang bekerja dilingkungan kerja yang tidak kondusif ini. Lebih parah lagi malah. Karena, selain berkecipak kecipung dalam kekeruhan budaya kerja itu, kita juga jadi tukang blaming. Kalau ada kesalahan atau kekurangan dari hasil kerja kita ya tinggal kita salahkan saja budaya atau lingkungan kerja kita. Dan kita, serasa menjadi orang yang paling inosen disitu.

Di depan rumah orang tua saya dipinggiran Kalimantan, mengalir sungai kecil yang sama. Warna airnya hitam legam. Sumur pun hanya bisa memberikan air keruh dengan berbagai macam partikel kecil yang terlarut. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh para tetangga. Tetapi, setiap hari; kami bisa menggunakan air yang bersih lagi jernih. Benar. Kami menggunakan air jernih.

Soal ini, saya tidak sedang bicara dusta. Inilah fakta yang saya sendiri pun  mengalaminya. Sehingga saya boleh tegaskan sekali lagi bahwa; tinggal di lingkungan yang buruk tidak mesti menjadikan diri kita terperdaya oleh buruknya lingkungan itu. Dengan kata lain, bekerja dikantor yang kita sebut sebagai ‘tidak kondusif’ itu pun tidak mesti menjadikan kita karyawan yang memble aje. Maaf ya, jika saya menggunakan istilah jelek itu. Memble. Soalnya, saya tidak tahu istilah yang lebih baik dari itu.

Tapi, bagaimana bisa mendapatkan air bersih di lingkungan yang keruh itu? Membeli air ya? Tidak. Kami menggunakan air dari sumur yang keruh itu saja kok. Lantas, bagaimana bisa menjadi bening? Begini prosesnya. Pada sore hari tangki air besar diisi hingga penuh dengan air sumur yang keruh itu. Lalu, kami masukkan segayung air yang didalamnya sudah kami larutkan dua sendok serbuk koagulan. Kemudian, kami biarkan air dalam tangki besar itu semalaman. Dan keesokan paginya…. Terereng… air itu sudah menjadi sejernih dan sebening kaca!

Tengoklah lingkungan kerja Anda. Jika Anda pasrah saja pada ketidakkondusifannya, maka Anda seperti kebanyakan orang pedalaman itu. Namun jika Anda bersedia melakukan sesuatu untuk memperbaiki kondisi itu, maka Anda seperti kami yang tinggal di bumi bergambut dengan airnya yang keruh itu. Kami kan boleh pasrah saja pada keadaan, kemudian ikut terlarut seperti kebanyakan orang lainnya. Tapi kami memilih berjuang melakukan sesuatu sehingga yang keruh itu bisa menjadi jernih. Anda juga boleh saja kok kalau membiarkan kondisi kerja yang buruk itu terus begitu. Tapi Anda juga punya kemerdekaan untuk membuat pilihan lain. Yaitu, berjuang melakukan sesuatu yang bisa menjadikan lingkungan kerja Anda lebih baik lagi.

Kami berharap pemerintah daerah menjernihkan air keruh itu? Mungkin sih, tapi entah kapan. Dan kami melakukannya sekarang. Bisa. Jika Anda benar-benar punya keinginan untuk melakukan perbaikan. Tidak perlu menunggu orang lain melakukannya untuk Anda. Orang lain belum tentu peduli kok. Lagian juga, kebanyakan orang lainnya lebih suka ikut nyemplung dalam kekeruhan yang ada loh. Anda ini, beda. Maka Andalah orang yang bisa membuat perbedaan itu. Bagaimana caranya? Mudah. Dengan tetap menjaga idealisme yang pernah Anda miliki itu. Segayung idealisme Anda cukup untuk menjernihkan lingkungan kerja yang keruh.

“Dadang, kamu itu tidak tahu kondisi yang ada dikantorku!” mungkin Anda protes begitu. Dan mungkin memang saya tidak tahu kondisi sebenarnya yang Anda hadapi. Tetapi, izinkan saya untuk mengambil lingkup kecil dikantor Anda. Misalnya begini; meja kerja Anda, bisa Anda kontrol nggak? Bisa, pastinya. Nah, mulailah dengan menata dan membereskan semua yang ada di meja kerja Anda. Bukan hanya rapi secara fisik saja. Tapi rapi dalam hal penyelesaian pekerjaan, perilaku selama jam kerja. Dan cara membawakan diri Anda yang benar-benar mencerminkan pribadi professional beneran.

Sahabatku. Mungkin memang Anda tidak bisa mengubah seluruh elemen di kantor Anda. Sama persis seperti kami di pinggiran Kalimantan yang tidak bisa membuat jernih setiap tetes air disepanjang sungai dan sumur padang gambut. Tapi Anda sahabatku, bisa membuat jernih lingkungan dimeja kerja Anda sendiri. Seperti kami bisa membuat jernih tangki demi tangki yang kami pakai sendiri. Jika Anda bisa menjadi pegawai yang berdisiplin di lingkungan kerja yang seenak perutnya itu. Jika Anda bisa membuat pekerjaan dengan kualitas tinggi di lingkungan kerja yang asal-asalan itu. Jika Anda bisa menjadi pegawai yang peduli di tengah lingkungan kerja yang cuek bebek itu. Jika Anda bisa menjaga kejujuran ditengah lingkungan kerja yang menghalalkan segala cara itu. Maka Anda, sudah berhasil menjernihkan tangki air professional Anda.

Di halaman rumah kami. Ada banyak gentong besar. Kami, menggunakannya untuk menampung air hujan yang sudah dari sononya bersih. Tetes hujan itu seperti ilham tentang kebaikan. Tuhan memberikan ilham itu kepada kalbu setiap orang. Namun, kita sering mengabaikannya. Sehingga tertumpah dan berlalu begitu saja. Andai didalam kalbu kita ada gentong-gentong untuk menampung setiap tetes petunjuk yang Tuhan turunkan…. Pasti  kita akan bisa mempertahankan idealisme dan integritas diri ditengah lingkungan kerja yang buruk ini. Karena hanya dengan petunjuk Tuhan saja kita bisa istikomah dalam kejujuran. Dan kita, bisa tetap jernih, di dalam lingkungan kerja yang keruh ini. Kemanakah kembalinya jiwa-jiwa yang terjaga dan terpelihara kebersihannya, sahabatku? Tentu, ke haribaan Sang Maha Suci. Yang hanya akan membukakan pintu sorgaNya bagi mereka yang terus gigih untuk membersihkan dirinya.

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Mungkin kita tidak bisa memperbaiki lingkungan kerja dalam skala yang besar. Tetapi kita bisa memperbaikinya dalam lingkup yang paling kecil. Yaitu, lingkup yang menjadi tanggungjawab diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar