Berani Meminta Maaf

Mobil Ayah baru sebulan keluar dari bengkel. Bukan karena ada masalah dengan mesinnya. Tapi karena body-nya penyok dibeberapa bagian. Butuh lebih dari seminggu mobil itu diopname di bengkel. Soalnya, penyoknya ada dimana-mana. Memang sih, Ayah paling males banget kalau harus bolak-balik ke bengkel untuk memperbaiki perintilan-perintilan kecil. Itu juga, hampir saja perusahaan asuransi nggak mau mengcovernya gara-gara Ayah menunda-nunda perbaikan.

Tapi…. Bukan juga Ayah kalau sampai tidak bisa meyakinkan perusahaan asuransi itu untuk mengganti ongkos perbaikan. “Buat apa bayar premi dong kalau mereka tidak mau terima klaim…” Nggak ada matinya deh kalau Ayah sudah berargumen.

Ayah bilang, begini; “Mulai sekarang. Tolong dong Ma, hati-hati bawa mobilnya ya Ma…”  Maklum. Mama yang paling banyak menyumbang baret-baret atau penyok di mobil. Dan setiap kali kejadian, Mama cukup memperlihatkan senyum manis yang membuat Ayah tidak bisa berkata apa-apa.

Sore itu semua keluarga tumplek didalam mobil Ayah yang terlihat kinclong. Kecuali Kakak Ayang yang masih di tempat les. Waktu itu, Mama bersama anak-anak sudah pergi-pergi seperti biasanya. Sedangkan Ayah baru selesai fitness. Mama jemput Ayah, kalau urusan Mama sendiri sudah selesai.  Setelah Papa masuk ke mobil, kemudi pun diambil alih.

Kira-kira lima ratus meter dari tempat Ayah dijemput itu ada tikungan agak tajam. Waktu Ayah berbelok, sebuah sepeda motor memaksa menyalip dari sebelah kiri tikungan sempit itu. Kemudian terdengar bunyi “BRAK!”.

Wajah Ayah jadi pucat pasi. Mobil kesayangannya yang baru dicat lagi itu terserempet motor yang nggak sabaran. Semua orang didalam mobil kaget. Tapi, wajah Ayah menunjukkan kalau selain kaget itu ada kekesalan tak tertahankan. Makanya Ayah langsung memencet klakson keras-keras. Motor itu masih berjalan kira-kira 10 meter didepannya. Lalu Ayah pencet klakson lagi.

“Ayah sudahlah Ayah…” kata Mama. “Nggak usah marah-marah.”
“Ini orang seenaknya aja sih dijalanan,” begitu respon Ayah. “Nggak bisa dibiarkan begitu saja dong!” katanya.

“Ini bulan puasa lho Yah…” Kakak Aci menimpali.
Tapi Ayah masih membunyikan klakson memberi isyarat kepada pengendara motor itu. Akhirnya motor itu pun berhenti. Ayah pun menghentikan mobilnya tepat disampingnya.

“Yah, baik-baik aja ya Ya…” begitu kata Adik Z. “Sayang kalau puasa Ayah jadi batal karena emosi….” Kalimat itu terdengar Ayah tepat sebelum menurunkan kaca jendela.

“Maaf Pak…” Itulah kalimat pertama yang kami dengar dari pengendara motor itu.
“Orang itu sudah meminta maaf loh Ayah…” Adik Z kembali berbisik. Wajah Ayah yang sedari tadi tegang itu mulai mencair.

“Tampaknya tidak ada yang rusak kok Pak…” tambah pengendara motor itu.
Sekarang Ayah terlihat tenang.  Pastinya bukan karena frase ‘tidak ada yang rusak’ yang diengarnya tadi. Soalnya, bunyi BRAK! Seperti itu setidaknya akan meninggalkan bekas baret halus dibody mobilnya. Pasti ada hal lain yang membuat Ayah tidak lagi terlihat marah.

“Anda tidak apa-apa?” begitu tanya Ayah kepada orang itu.
“T-tidak Pak….” Pengendara motor itu menjawab dengan gelagapan. Mungkin nggak nyangka kalau bakal menerima pertanyaan begitu.

“Ya sudah. Anda hati-hati ya…” kata Ayah lagi. Kata terimakasih dari orang itu nyaris tidak terdengar karena Ayah langsung menutup lagi kaca jendela. Lalu mobil kami berjalan lagi seperti biasa.

“Oh, Ayah…” kata Kakak Aci. “Ayah sabar sekali….” Tambahnya. Ayah tersenyum saja. Mungkin sambil memikirkan baret yang baru dilukis di body mobilnya.

“Kalau aku pasti sudah gemeteran tuh Yah…” Abang Zufar menimpali.
“Gemeteran gimana Bang?” Ayah balik bertanya kepadanya.
“Iyya. Aku kalau punya salah pasti ketakutan Yah.” Jawabnya. “Bisa ngompol deh aku…” katanya lagi. Lucu banget deh mendengar celoteh cowok mungil berumur 9 tahun itu.

“Abang, itu sudah benar…” kata Ayah. “Kalau kita melakukan kesalahan, kita perlu takut Bang. Ayah juga takut kalau berbuat salah…” katanya lagi. “Tapi Bang, kita mesti berani bertanggungjawab atas kesalahan yang kita lakukan Bang….”

“Bertanggungjawab itu apa?” kepolosan Abang membuat kami semua tersenyum.
“Misalnya, seperti pengemudi motor tadi. Dia yang salah. Dan dia tidak melarikan diri.” Jawab Ayah.

“Nanti kalau dimarahin gimana?” tanya Abang Zufar lagi. “Kalau aku takut banget dimarahin.” Lanjutnya.

“Abang, perhatikan. “ Ayah menimpali. “Tadi Ayah marah nggak sama orang itu?”
“Nggak.” Jawab Abang pendek.
“Kenapa Ayah nggak marah?” tanya Ayah lagi.
“Nggak tahu…” jawab Abang lagi.

“Karena orang itu sudah meminta maaf.” Begitulah Ayah menjelaskan. “Jika seseorang berbuat salah. Lalu dia minta maaf dengan tulus, maka orang itu layak untuk dimaafkan.” Lanjutnya. “Makanya, Abang. Kalau Abang berbuat salah. Lalu Abang takut. Itu betul. Kita memang mesti takut berbuat salah. Namun, jika terlanjur salah. Kita harus berani mengakui kesalahan itu. Dan berani meminta maaf.”

“Iyya, itu kan karena Ayah baik.” Jawab Abang lagi. “Orang lain baik juga nggak?”
“Abang. Ingatlah bahwa Allah itu maha baik. Asal kita tulus meminta maafnya, Allah pasti memafkan. Dan Allah akan membantu membuat orang lain juga baik pada kita.”

“Kalau orang itu tetap marah, gimana Yah?” pertanyaan Abang nggak ada habisnya.
Kita tenang saja Bang. Nggak usah takut. Kan sudah minta maaf,” jawab Ayah. “Kalau kita sudah meminta maaf dengan tulus. Dan orang itu masih marah, ya nggak apa-apa Bang. Kita kan memang mesti bertanggungjawab pada kesalahan yang kita lakukan.”

“Tanggungjawabnya gimana dong Yah?” pertanyaannya semakin berat.
“Kita mengganti kerusakan atau kerugian yang terjadi karena kesalahan kita itu.” Jawab Ayah. “Tenang saja Abang. Kalau Abang salah. Dan Abang meminta maaf, Ayah tidak akan marah kok. Ayah akan maafkan Abang. Dan Ayah akan bantu Abang memperbaikinya. Oke?”

“Oke.” Jawab Abang.
“Jadi, Abang mesti berani mengakui kesalahan Abang oke?”
“Oke.” Jawabnya lagi.
“Mesti berani meminta maaf oke?”
“Oke.”

Ketika sampai di rumah. Ayah langsung memeriksa mobilnya. Agak miris sih senyum diwajahnya. Tapi Ayah puas. Karena dalam perjalanan tadi itu ada pelajaran berharga bagi kami sekeluarga. Setidaknya, Ayah tidak usah susah payah untuk mengajari kami bersikap ksatria. Untuk mengakui kesalahan. Dan meminta maaf setulus hati. Karena lewat kejadian itu, Allah tunjukkan bagaimana cara Ayah mengajari anak-anaknya tentang keberanian meminta maaf. Dan Ayah juga punya kesempatan untuk mencontohkan bagaimana caranya memaafkan orang lain. Lagi pula, kan Allah Maha Pemaaf.

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Ketika orang lain melakukan kesalahan kepada kita, ada kesempatan buat kita untuk belajar bagaiman caranya meminta maaf seandainya saja kelak kitalah yang melakukan kesalahan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar