Berani Bertanggungjawab

Pic. Source: billofrightsinstitute.org
Sekali dalam sebulan, kami pergi ke supermarket untuk membeli perlengkapan kebutuhan rumah tangga. Kalau pas ada uang lebih, biasanya Ayah juga membeli sesuatu yang agak aneh. Misalnya, makanan-makanan khusus yang jarang sekali kami nikmati. Biasanya, harganya relatif tinggi. Tapi, kami tahu kalau Ayah selalu berusaha untuk membelinya sekali-sekali. “Biar kita tahu rasanya,” kata Ayah. “Kan yang penting sudah pernah mencicipi….” Begitu lanjutnya.

Kami paham bahwa Ayah ingin agar anak-anaknya tidak ketinggalan zaman. Yaa setidaknya kalau teman-teman disekolah pada cerita tentang makanan atau buah itu, anak-anak Ayah tidak melongo aja. Cuman ya itulah, kadang-kadang Ayah kena batunya juga. Soalnya, kalau rasanya enak banget; biasanya anak-anak meminta Ayah membelinya lagi. Padahal, belum tentu saat itu Ayah sedang punya uang lebih. Tapi, nggak apa-apa juga sih. Soalnya anak-anak nggak pernah memaksa Ayah untuk membelinya. “Kalau pas sedang ada uang lebih aja ya Yaah….” Begitu kakak bilang.

“Iyya… Insya Allah nanti Ayah belikan lagi. Tolong doain kerjaan Ayah lancar ya…, biar rezeki kita terus mengalir …..” Begitu biasanya Ayah menjawab. “Lagian juga kan kita nggak mesti sering-sering memakannya ya kan?” Nah, kalimat terakhir Ayah itu juga sudah menjadi jawaban standar. Ayah selalu berkata begitu.

Di hari belanja itu, Ayah kembali membeli makanan yang unik. Kali ini dikemas dalam botol kaca. Harganya lumayan. Tapi Ayah mengambil dua. Lalu diletakkannya didalam trolley belanjaan. Setelah itu, kami berjalan menuju meja kasir. Tapi nggak jadi. Soalnya, ternyata Mama masih terjebak diantara rak-rak kosmetik. Lagian juga semua meja kasir sedang sangat sibuk. Antrinya panjang banget. Kayaknya, ini hari Ibu-ibu mencomot benda-benda dari rak-rak supermarket. Dan hari Bapak-bapak menguras isi dompet.

Anak-anak nggak mungkin betah menunggu antrian seperti itu. Apalagi Kakak dan Abang. Mereka berlari kesana kemari. Kejar-kejaran seru sekali. Soal itu, Ayah nggak pernah melarangnya. Dibiarin aja. Soalnya, Ayah percaya jika anak-anak memang mesti banyak bergerak.   

Kakak mengejar. Abang berlari. Keduanya menuju Ayah yang sedang mendorong troli. Lalu….. BRAAAK! Mereka menabrak troli yang sedang ayah pegangi. Kakak dan Abang langsung terdiam. Mematung saja. Sambil memandang seonggok benda yang berceceran di lantai. Makanan yang Ayah beli tadi. Dua-duanya jatuh karena letaknya berada di paling atas tumpukan belanjaan itu. Dan dua-duanya pecah sampai tidak mungkin dimakan lagi.

Dengan wajah takut, Kakak dan Abang menunduk. Lalu perlahan-lahan melihat kearah Ayah. Gawat. Entah hukuman apa yang akan Ayah berikan. Dua. Lumayan mahal pula harganya. Untungnya peristiwa itu terjadi di lorong yang sepi. Jadinya tidak ada orang lain yang tahu selain kami. Kesempatan yang paling ideal untuk menyembunyikan pecahan-pecahannya dibalik rak. Pasti nggak akan ketahuan.

Adik Z menatap wajah Ayah. Sepertinya sedang menantikan tindakan apa yang akan Ayah lakukan. Soalnya, dalam kondisi terjepit seperti itu kan orang bisa melakukan apa saja. Tapi mesti diputuskan sesegera mungkin. Jika tidak, nanti ketahuan petugas supermarket. Dan jika sudah ketahuan, maka pilihannya hanya sedikit.

Ayah mematung. Mamandang ceceren yang ada dilantai itu. Berdiri kaku seperti manekin yang sedang dipajang. Kakak menahan nafas. Abang menampakkan wajah gelisah. Lalu… Ayah berkata; “Kakak, tolong panggilkan petugas toko ya…..”

Untuk sejenak Kakak bengong saja. Mungkin nggak mengira jika ternyata Ayah tidak marah. “Ayo Kak, kita panggil petugas tokonya,” demikian Abang berkata. Lalu mereka pun berlari lagi mencari penjaga toko.

Ketika mereka kembali bersama petugas itu, Ayah masih berdiam diri disana. Sekarang, Mama pun sudah kembali dari menelusuri lorong-lorong kosmetik. “Ya Pak, ada yang bisa kami ban…..” pertanyaan petugas toko itu terhenti begitu saja, tepat ketika dilihatnya serakan-serakan botol kaca bercampur makanan bercecerean dilantai. “Emh….” Katanya. Tidak jelas dia mau bicara apa.

“Kami yang menjatuhkannya Mbak,” kata Ayah. “Maaf.” Sambungnya.
“J-jadi…emh… gimana ya Pak?” katanya. Wajahnya terlihat penuh keraguan.  
“Nggak apa-apa Mbak. Saya mau minta tolong aja diambilkan sapu.” Jawab Ayah. “Tolong diwadahin di plastik ya Mbak. Kami akan membawanya ke kasir……..”

Adik Z langsung tersenyum mendengar pernyataan Ayah. Sepertinya, Adik Z memberi nilai sempurna kepada Ayah yang sudah lulus ujian itu.

“Kita membayarnya Yah?” Tanya Abang.
“Oh, iyya dong. Kita yang merusaknya. Jadi kita mesti membayarnya….” Ayah menjawab dengan mantap.

Kakak dan Abang kembali mematung. “Maaf ya Ayah….” Begitu kata Kakak. “Maaf ya Ayah…” Abang pun tidak mau ketinggalan.

Iyyaaaa. Ayah maafin. Lagian Ayah juga tahu kok. Kalian tidak sengaja.” Oooh, legaaa sekali mendengarnya. “Tapi…...” Wah, ada tapinya. “Sekarang coba kamu lihat deh.” Tambah Ayah. “Akibat kecerobohan kita, apa yang terjadi?”

Kakak dan Abang diam saja.
Ayah mengucek-ngucek rambut mereka. “Lain kali, Ayah minta tolong ya, kalian kalau main mesti berhati-hati. Oke?” Kakak dan Abang langsung bilang oke juga.

“Sekarang kita ke kasir,” Ayah berkata lagi. “Kalian bawa plastik ini, lalu kita bayar.” Kami pun langsung menuju lorong pembayaran. Ketika sampai disana, Kakak langsung menyerahkan bungkusan berisi serpihan-serpihan itu kepada kasir.

“Ini pecah ya Pak?” demikian kasir itu berkata.
“Iyya Mbak, nggak apa-apa. Kami memang harus menggantinya.” Begitu Ayah menjawab.

Kakak dan Abang terdiam. Tapi wajah mereka sekarang nggak takut lagi. Soalnya Ayah nggak marah. Dan Ayah, sudah ngasih tahu mereka bahwa kita mesti berani mempertanggungjawabkan apa pun yang kita lakukan. Kita nggak boleh lari dari tanggungjawab itu. Sekalipun nggak ada orang yang melihat. Tapi kata Ayah, mana bisa kita bersembunyi dari pengawasan Tuhan?

Memang sih, kadang-kadang menyakitkan juga. Rugi banget rasanya. Setidaknya, hari itu kami gagal membawa pulang sesuatu yang baru ke rumah. Tapi, kami berharap agar kejadian itu bisa menjadi bekal yang baik buat akhlak kami kelak kalau sudah dewasa. Bahwa memang seharusnya kami berani bertanggungjawab.
  
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Ketika tidak ada orang lain yang melihat, kita punya pilihan untuk melarikan diri dari tanggungjawab. Tetapi, karena Tuhan itu maha melihat; maka tidak ada satu pun tindak tanduk kita yang lolos dari pengawasanNya. Dan untuk setiap tindakan itu, Tuhan pasti akan meminta pertanggungjawaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar