Bagaimana Cara Pulangmu Itikafer?

Pic. Source: www.uccgonline.org
Tidak usah diajari lagi. Setiap orang pasti tahu persis bagaimana caranya untuk pulang ke rumah masing-masing. Yang sering kali kita tidak ketahui adalah; cara pulang ke rumah semua umat manusia. Rumah abadi tempat kembalinya setiap insan. Meskipun begitu, sesungguhnya kita bisa memperkirakan. Bagaimana cara seseorang akan pulang. Ini bukan ramalan. Melainkan soal probabilitas saja. Orang yang sepanjang hidupnya dihiasi dengan ibadah, kemungkinan besar akan ‘pulang’ ketika sedang beribadah. Orang yang keseringan melakukan keburukan, ya terbuka peluang untuk pulang ketika sedang berbuat buruk kan? Pasti begitu? Tidak. Tapi kemungkinan besarnya ya begitu itu. Pesan pentingnya; bagaimana cara kita menjalani hidup, ya kira-kira bakal seperti itulah kita ketika dijemput maut. Kalau Anda, kira-kira bakal seperti apa situasinya ketika saat itu tiba?

Dikisahkan diatas sebuah ranjang terbaring seorang lelaki. Lelaki itu sudah tiga hari tergeletak tanpa daya. Dalam hatinya dia tahu persis apa yang akan segera terjadi pada dirinya. Sebentar lagi, akan datang malaikat Izrail menemuinya. Dia pun pasrah saja karena kalau memang sudah waktunya kan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Lagi pula, keikhlasan saat menghadapi jemputan Ilahi itu malah membuat seluruh prosesinya menjadi lebih ringan dan melegakkan. Ya sudahlah, silakan diambil saja. Toh umur ini tidak lebih dari sekedar titipan. Ikhlas orang itu menghadapi takdirnya yang sebentar lagi akan dihadapinya.

Izinkan saya menghentikan cerita tentang lelaki itu sampai disini terlebih dahulu. Karena ditempat lain ada sebuah kejadian yang menarik. Sudah menjadi kelaziman ditempat itu, bahwa menjelang 10 hari terakhir ramadhan sekelompok orang ber’itikaf. Arti itikaf itu sebenarnya sederhana saja kok. Hadir di Masjid. Itu saja. Lalu ngapain di Masjid? Ya namanya di rumah ibadah, untuk apa lagi orang hadir jika bukan untuk beribadah kan. Ada yang membaca Al-Quran, Sholat malam, berdzikir. Dan. Boleh juga tidur sebentar untuk mengembalikan tenaga sehingga bisa diteruskan lagi ibadahnya setelah segar lagi.

Di penghujung malam, orang-orang itu makan sahur bersama. Supaya tidak mubadzir, jumlah porsinya disesuaikan dengan jumlah orang yang itikaf. Di hari pertama itikaf itu, ada 1 bungkus nasi yang masih tersisa. Oh, mungkin panitia salah menghitung. Tapi, tidak sih. Begitu kata panitia. Nasi bungkus yang masih tersisa itu katanya untuk si Fulan. Siapakah si Fulan itu? Dia adalah orang yang tahun lalu beritikaf di mesjid itu. Sudah langganan selama bertahun-tahun. Mungkin, malam ini dia datang terlambat.

Waktu imsak sudah tiba. Namun si Fulan belum juga terlihat batang hidungnya. Teman-temannya yang para itikafer itu menanti dengan harap-harap cemas. Masih ada waktu 10 menit lagi sampai adzan subuh tiba. Tapi, sampai adzan subuh selesai pun dia tidak datang juga. Dan nasi bungkus itu pun dihadiahkan kepada ayam-ayam yang memang tidak wajib puasa. Hari ini si Fulan absen dari itikaf tahunannya.

Di hari kedua itikaf. Nasi bungkus itu kembali tersisa satu. Untuk si Fulan. Begitu kata orang-orang itu. Tapi kenapa mesti menanti lelaki yang tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya itu? Mungkin dia sudah kaya raya sehingga merasa jika itikaf tidak diperlukan lagi. Mungkin juga sekarang sudah jadi direktur sehingga tanpa itikaf pun hidupnya sudah terlanjur makmur. Hey. Itikaf itu bukan untuk kehidupan dunia semata loh. Akhirat. Itulah kehidupan yang sesungguhnya. Makanya, pergilah itikaf kamu Fulan. Nasi bungkus ini sudah menanti kamu seperti penantian sia-sianya kemarin subuh. Itikaf Fulan. Itikaf.

Yang namanya ibadah itu panggilan yang hanya bisa didengar oleh orang-orang yang beriman. Sedangkan orang beriman itu tidak ada hubungan dengan jabatan. Dengan kekayaan. Atau dengan sebutan-sebutan. Semua orang yang beriman, yang hatinya bersih serta merindukan pertemuan dengan Tuhan. Hanya mereka itu yang mendengarkan seruan serupa itu. Yang tidak benar-benar beriman, tidak akan tertarik untuk bangun malam. Ya sudahlah, daripada nasi bungkus ini sia-sia, ayo dibuka saja. Dimakan sama-sama kan bisa habis juga. Tapi. Masa sih si Fulan termasuk golongan itu? Maka nasi bungkus itu pun dibiarkan tetap terjaga. Sampai imsak tiba. Sampai adzan subuh menggema…. Dan ayam-ayam itu pun kembali bergembira.

Di hari ketiga. Ini yang terakhir kalinya akan mereka coba. Disediakannya itu nasi bungkus untuk si Fulan. Rindu mereka kepadanya. Sehingga, dihari ketiga itikaf ini kepada si Fulan itu mereka khusus memanjatkan doa. “Ya Allah,” demikian kata mereka. “Kami rindu sahabat kami. Si Fulan namanya.” Lanjutnya. Yang satu berucap. Yang lainnya mengaminkan. “Tolong bawa dia kepada kami malam ini Tuhan. Sudah jam 3 pagi dia kok belum datang juga. Tolong Tuhan, apapun yang terjadi; bawa si Fulan kepada kami….” Dan doa itu terus berlanjut entah berapa bait lagi. Diaminkan dengan tulus oleh semua hadirin. Para itikafer itu. Entah dengan ayam-ayam itu.

“Wahai Izrail,” demikian teriak Jibril yang terbang tergesa. “Tahan dulu sebentar tanganmu.” Katanya. Ketika itu Izrail persis hendak menunaikan tugas utamanya.
“Apakah gerangan yang membuat Engkau berani menghalangi takdir Ilahi wahai Jibril?” Demikian hardik Izrail. Wajahnya gusar karena kekhusyuannya terganggu.

“Demikianlah Allah memerintahkan wahai Izrail.” Balas Jibril. “Tahan dulu!” Seraya memberi isyarat dengan tangannya tanda kesungguhan.

Izrail pun berhenti. “Sudah ditenggorokan nih!” sergahnya.
“Kembalikan seluruhnya.” Perintah Jibril lagi.
“Bukankah jika kematian sudah ditentukan untuk seorang hamba tidak bisa diundur atau dimajukan lagi, wahai Jibril.” Belum puas Izrail rupanya. Bagaimana pun juga, perintah Tuhan harus dijalankannya. Sekalipun mesti berhadapan dengan sang utusan perkasa.

“Benar demikian.” Jawab Jibril. “Tapi, jika Allah sendiri yang mengundurkannya; siapa yang berani membantahnya?”

Maka serta merta Izrail pun mengembalikan seluruh ruh itu kedalam tubuh sang lelaki yang sudah siap bersimpuh. Menakjubkan. Lelaki itu pulih seketika. Perkasa lagi seperti sediakala.

“Wadduh. Sudah jam 3 ini!” jeritnya. Dia melompat dari tempat tidur. Segera diambilnya air wudhu. Berganti pakaian dengan yang paling bagus. Lantas bergegas pergi ke masjid. “Assalaamu’alikum…” begitu sapanya ketika tiba disana. Persis bersamaan dengan kata ‘Aamiin’ yang mengiringi bait terakhir doa mereka.

“Ya Allah pemilik lailatul qadar!” begitu orang-orang berteriak. “Engkau mengabulkan doa kami….” Kata mereka. “Wa’alikumsalaam Warahmatullahi Wabarokaatuh, wahai Fulan. Akhirnya Allah berkenan mengizinkan Engkau datang untuk beritikaf bersama kami….” Mereka pun memeluknya. Malam itu, menjadi malam istimewa. Karena nasi bungkus itu sekarang dimakan oleh orang yang paling mereka nantikan. Lebih istimewa lagi karena mereka sekarang duduk melingkar. Bertadarus. Tadarus itu membaca Al-Qur’an secara bergiliran. Yang satu membaca. Yang lainnya menyimak. Sambil membetulkan jika ada bacaan yang salah. Begitulah mereka. Sampai adzan subuh tiba. Setelah sholat subuh itu, si Fulan berpamitan untuk pulang. Sedangkan teman-temannya meneruskan itikafnya.

Pagi hari jam delapan selepas sembahyang dhuha. Datang kabar mengejutkan kepada pengurus masjid. Wajah Pak Ustadz, menggambarkan kesenduan. Lalu beliau memanggil semua itikafer untuk berkumpul. “Innaa Lillaahi, Wainnaa Ilaihi Rooji’uun…” demikian Pak Ustadz membuka kalimatnya. Semua itikafer terkejut. “Telah berpulang ke rahmatullah,” lanjut Pak Ustadz. Dada para itikafer berdebar dalam cemas. “Si Fulan bin Fulan….” Langsung disambut tahlil yang mengumandang.

“Jam berapa meninggalnya Pak Ustadz…?” demikian bertanya seorang sahabat.
“Jam berapa meninggalnya wahai sohibul musiibah?” demikian Pak Ustadz meneruskan pertanyaan itu kepada keluarga yang datang mengabarkan.

Lalu dijawabnya; “Jam tiga pagi tadi Pak Ustadz…..”
“Allaaaaaahu Akbar….” Semua itikafer terpekik. “Jam tiga pagi tadi?”
“Betul jam tiga pagi tadi.” begitu sohibul musibah menjawab. Sambil terheran. “Kenapa memangnya?”

Para itikafer itu saling memandang satu sama lain. Lalu melihat ke tempat meja kecil bekas dipakai tadarus tadi. Masih ada disana. Dan Al-Qur’annya pun masih tersangga diatasnya. Masih terbuka malah.

“Subhaanallah….” Demikian kata Pak Ustadz. “Yakin, si Fulan wafatnya jam 3 pagi?” demikian ditanyakannya sekali lagi.

“Yakinlah Pak Ustadz,” jawab sohibul musibah. “Seluruh keluarga berkumpul ketika beliau wafat. Dan ada dokter yang merawatnya ketika nafas terakhirnya terhembus….”

“Subhaaanallaaaah….” Para itikafer kembali bertasbih.

“Ada apa sih Pak Ustadz?” demikian shohibul musibah bertanya.
Pak Ustadz tersenyum. “Husnul Khatimah….” Katanya. Hadirin serempak mengatakan Aamiin.

“Coba lihat, Al-Qur’an yang dibacanya tadi.” Demikian Pak Ustadz meminta.
Seorang itikafer bangkit. Lalu diangkatnya meja kecil yang menyangga Al-qur’an yang masih terbuka itu. Lalu diserahkannya kepada Pak Ustadz. “Subhaanallaaaah….” Demikian Pak Ustadz bertasbih.

“Ada apa Pak Ustadz….?” Demikian para itikafer terpekik lagi.
“Ayo semuanya berkumpul kesini.” Pak Ustadz memanggil para itikafer. “Ingin tahu, apa yang didapatkan oleh Si Fulan yang menempuh jalan pulang Husnul Khatimah?” tanyanya.

“Mau Pak Ustadz. Mau. “ jawab para itikafer itu serempak.
Maka lihatlah, apa yang tertulis di halaman Al-Qur’an yang terbuka ini.”
Mereka mengerumun. Lalu, “Subhaaanallaaaaah….” Serempak mereka bertasbih lagi. Tepat ketika mereka memandang ayat yang tertera yang dalam Al-Quran itu.

Sepertinya pandangan mata mereka ditujukan pada pusat yang sama dalam surah 89 (Al-Fajr) ayat 27 sampai 30. “Wahai Jiwa yang Tenang…. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah engkau kedalam kelompok hamba-hambaKu. Dan masuklah engkau, kedalam surgaKu….”

Tidak ada orang yang tahu persis dengan keadaan ketika akhir hayatnya tiba. Namun orang-orang yang senantiasa menjaga dirinya untuk tetap berada dalam kebaikan, akan dengan sendirinya dijemput malaikat maut ketika berada dalam kebaikan. Dan baginya, ada husnul khatimah. Insya Allah.
  
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Prestasi puncak seseorang itu bukanlah jabatan paling tinggi atau penghasilan yang paling banyak. Melainkan tercapainya husnul khatimah sebagai jalan pulangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar