Hari Ini Bawahan, Besok Atasan


Pernahkah anda mendengar seseorang mengatakan:"Boleh jadi, bawahan anda akan menjadi atasan anda pada suatu saat kelak....". Tidak banyak atasan yang menyadari kenyataan ini, sekaligus bersedia menerima konsekuensi yang ditimbulkannya. Dan, lebih sedikit lagi atasan yang bahkan dengan 'sengaja' melakukan 'sesuatu' untuk membantu bawahannya menapak lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Meskipun pada kenyataannya, ada banyak bukti bahwa para bawahan cemerlang melejit karirnya hingga menjadi atasan bagi para mantan atasannya. Apakah anda menemukan fenomena serupa ini dilingkungan kerja anda?
"Gue resign aja deh...." begitu kata seorang teman. Dia lebih suka
pindah ke perusahaan lain daripada harus menjadi bawahan bagi orang
yang pernah menjadi bawahannya. Secara mental, dia tidak siap
menghadapi situasi terbalik seperti itu. Sulit menerimanya karena ada
ganjalan psikologis didalam dirinya. Dia dikuasai rasa gengsi. Merasa
diri lebih senior. Lebih superior. Dan rupanya, tidak sedikit orang
yang bersikap seperti itu.

Banyak orang yang mengatakan bahwa; promosi tidak dilakukan secara
transparan. Sarat dengan kolusi. Dilatarbelakangi diskrimanasi. Dan
penuh dengan perbenturan berbagai kepentingan. Akibatnya, orang
mendapatkan posisi lebih tinggi tanpa didukung oleh kemampuan yang
memadai. Sehingga;"berseliweranlah para `anak kemarin sore' dijajaran
manajer senior perusahaan". Mungkin betul begitu. Mungkin juga
sekedar alasan belaka. Tapi, konteks diskusi kita saat ini tidak
sedang membahas aspek itu. Jadi, mari kita fokuskan pembahasan kita
kepada kenyataan bahwa :"Boleh jadi, bawahan kita akan menjadi atasan
kita pada suatu saat kelak...." Let's accept the fact, and let's
deal with it.

Bagi kita, hal ini memiliki dua implikasi. Pertama; seandainya kita
adalah sang atasan itu. Bagaimana kita menghadapi kemungkinan seperti
itu? Kemungkinan ketika bawahan kita menjadi atasan bagi kita.
Mustahil? Tidak.

Maka, penting bagi kita untuk memiliki paradigma positif. Jika ada
bawahan yang memiliki kualitas dan kinerja yang lebih baik dari kita;
bukankah itu baik bagi kita maupun organisasi itu sendiri? Memang,
idealnya kita naik posisi terus menerus, sehingga setinggi apapun
bawahan kita naik; kita masih berada diatasnya. Namun, bukankah
didunia nyata tidak selalu terjadi hal sedemikian?

Mari cermati kalimat ini;"Guru yang baik bukanlah mereka yang mau
mengajarkan semua hal yang diketahuinya. Melainkan, mereka yang
bersedia membantu muridnya membuka tabir-tabir pengetahuan yang belum
pernah terpecahkan." Apa yang kita ketahui sangatlah terbatas.
Sehingga, mengajarkan semua yang kita tahu tidak akan bisa menjadikan
generasi masa depan lebih baik dari kita. Jika hal ini berlaku dalam
hubungan antara guru dan murid, dapatkah juga terjadi dalam hubungan
antara atasan dan bawahan?

Seorang guru sejati akan bahagia ketika mendapati muridnya lebih
hebat dari dirinya sendiri. Demikian pula seorang atasan yang hebat.
Dia bahkan membuka jalan, supaya bawahannya bisa menapak lebih
tinggi. Tanpa ada rasa iri. Tiada pula kecemburuan. Yang ada,
hanyalah kebanggaan didalam dirinya. Meskipun – biasanya - seseorang
yang telah menapak tinggi lupa bahwa; ada peran atasannya dalam
pencapaian yang diraihnya. Jadi, tidak mengherankan jika mereka kerap
berkata;"I did it myself." Tapi, seorang atasan sejati; tidak
terlampau merisaukannya.

Implikasi kedua; seandainya kita sang bawahan itu. Bukti bahwa
seorang bawahan bisa menapak jenjang karir yang lebih tinggi dari
atasan, cukup untuk meyakinkan diri kita bahwa masa depan kita bisa
jauh lebih baik dari yang dapat kita bayangkan.

Sering kita dengar orang yang mengeluh bahwa karirnya tidak
berkembang karena atasannya tidak cukup memberi bimbingan. Bisa iya.
Bisa juga tidak. Lagipula, kita tahu bahwa tuntutan perusahaan
semakin banyak, sementara jumlah karyawan bahkan semakin berkurang.
Sehingga para pemegang posisi kunci semakin terbatas waktunya untuk
menyuapi kita. Atau mengajarkan kepada kita tentang ini dan itu.
Mengharapkan mereka selalu ada disamping kita membuktikan bahwa
memang kita bukan orang yang bisa diandalkan. Lagipula, mengapa
atasan kita harus memberi penilaian istimewa kepada orang-orang yang
bisanya hanya bergelantung diketiak mereka?

Disisi lain, kita juga sering terjebak pada anggapan
bahwa; 'kemampuan teknis adalah segala-galanya'. Padahal, kemampuan
teknis hanyalah satu dari sekian banyak faktor penting. Jadi, orang-
orang yang hanya hebat secara teknis, hanya layak untuk menjadi
pelaksana. Bukan pemimpin. Itulah sebabnya, mengapa orang-orang yang
hebat secara teknis; sering tersingkir. Repotnya, mereka merespon
situasi ini dengan menyimpulkan bahwa manajemen telah pilih kasih.
Mereka merasa; proses assesment tidak fair.

Kita, harus keluar dari pola pikir semacam itu. Sebab, jika terjebak
didalamnya; kita tidak akan pernah mengetahui apa yang harus
diperbaiki. Kita mengira bahwa semua kualifikasi itu sudah kita
miliki. Padahal, ada orang lain yang lebih baik dari kita. Seperti
halnya anda yang tidak ingin dipimpin oleh orang yang sekedar jago
dalam hal-hal teknis; maka tentu orang lainpun tidak ingin anda yang
hanya menguasai aspek teknis itu tampil menjadi pemimpin. Sebaliknya,
ketika kemampuan teknis anda dipadukan dengan sikap positif,
kemampuan membangun hubungan yang produktif baik dengan atasan,
bawahan maupun rekan sekerja, serta loyalitas yang tinggi; maka
mungkin, memang anda layak mendapatkan kesempatan untuk dipersaingkan
dengan orang-orang hebat lainnya.

Oleh Dadang Kadarusman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar