Memupuk Sifat Ksatria Dalam Diri Kita


Catatan Kepala: ”Mengakui kesalahan dimasa lalu adalah salah satu ciri pribadi terhormat. Sedangkan sikap ngeyel adalah cermin nihilnya sifat ksatria.”

Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang suka ngeyel? Sudah jelas dia melakukan kesalahan, eh ngotot saja mencari pembenaran atas tindakannya. Di TV, Koran, dan berbagai media lainnya, banyak sekali contoh orang seperti itu. Di kantor juga sama. Sampai-samapi kita heran sendiri;”Kenapa ya, kok ada orang yang ndablek seperti itu?” Hey jangan salah, kalau berada pada posisi yang sama; kita pun belum tentu tidak begitu lho. Apa lagi zaman serba keterbukaan seperti sekarang. Aib seseorang bisa menyebar sedemikian luasnya. Maka tak heran jika banyak orang yang memilih untuk berdusta saja. Apakah ngeyelnya seseorang merupakan respon terhadap buruknya cara kita menghakimi orang lain? Mungkin ya, mungkin tidak. Yang jelas, itu mencerminkan telah lunturnya sifat ksatria didalam dirinya.
Saya, pernah mencuri uang dari lemari pakaian orang tua saya. Seratus rupiah. Eit, zangan salah. Seratus rupiah pada masa itu bisa membeli sepuluh potong bakwan. Saat Ayah ‘menginterogasi’, saya ngotot tidak mengakuinya. Keadaan sangat menegangkan sekali. “Dang, kamu itu anak yang baik. Bapak akan pergi sebentar. Setelah Bapak kembali, beritahu Bapak yang sebenarnya,” lalu beliau keluar dari kamar. Tak lama kemudian, Ayah kembali lagi. Beliau langsung menuju ke lemari pakaian tempat hilangnya uang itu. Ternyata, beliau menemukannya disana. Utuh. Seratus rupiah.  “Lho, uangnya ternyata ada,” beliau berbalik menatap saya. “Uangnya pulang sendiri,” saya bilang. Ayah berjongkok hingga mata kami berdua sejajar. Air mata saya meleleh di pipi kanan dan kiri. Lalu tangis meledak ketika kedua tangan Ayah merengkuh saya kedalam pelukannya. Itulah pelajaran pertama yang saya dapat tentang betapa leganya mengakui sebuah kesalahan yang telah kita lakukan. Tidak disangka, ternyata mengakuinya jauh lebih melegakan hati daripada ngotot untuk  menutupinya.  Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar bersikap ksatria atas semua kesalahan dimasa lalu, saya ajak memulainya dengan mempraktekkan 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Ingatlah, percuma menutupinya. 
Jasad fisik kita tidak suka berkompromi. Jika moral kita kotor, tubuh kita ingin agar dirinya tetap bersih. Maka jika kita culas, misalnya, keculasan itu akan tergambar di wajah kita. Jika kita berbohong, maka kebohongan itu dipancarkan melalui mata. Jika kita mengatakan sesuatu yang tidak benar, maka degup jantung kita memberi sinyal dusta. Maaf, tubuh ini tidak mau berkompromi dengan hawa nafsu. Maka percuma menutupi kesalahan yang kita lakukan dimasa lalu, karena kita tidak akan bisa benar-benar menyembunyikannya. Sesekali, dengarkanlah kembali senandung Chrisye “Ketika Tangan Dan Kaki Berkata”. Lirik gubahan Taufik Ismail itu menggambarkan dengan jelas betapa kita tidak bisa menutupi sedikitpun perbuatan buruk yang kita sembunyikan itu. Maka akuilah. Sebab usaha kita untuk menutupinya akan percuma saja. Bahkan di dunia pun banyak orang yang bisa merasakan jika kita salah. Lihatlah orang-orang yang ngeyel. Anda bisa merasakan kengeyelannya, bukan? Begitu pula jika kita yang ngeyel. Orang lain pun tahu jika kita sedang menutupi sesuatu.

2. Biasakanlah untuk menjadi orang biasa. 
Selain takut dihukum, alasan kita tidak mau mengakui kesalahan adalah karena kita sendiri merasa malu. Apa lagi jika kita termasuk orang terhormat. Semakin tinggi posisi kita, semakin berat beban nama baik dan gengsi yang harus dipertahankan. Akan semakin sulit jugalah untuk mengakui jika kita ini salah. Makanya, tidak aneh jika orang-orang yang paling jago ‘membela diri’ adalah mereka yang paling tinggi posisinya, paling terkenal reputasinya, paling besar kekuasaannya.  Kalau kita sudah kadung ‘dinilai’ orang lain sebagai ‘pribadi terpuji’, rasanya kok berat sekali untuk mengakui adanya keburukan didalam diri kita. Maka tidak jarang orang memilih terus berkubang dari kolam kibul yang satu ke samudra dusta lainnya, asal sisi gelapnya tidak ketahuan. Beruntunglah orang biasa seperti kita. Karena kita tidak dibebani oleh keharusan untuk ‘menyelamatkan nama baik kita’ dari perilaku buruk yang mencorengnya. Lebih mudah jadinya untuk bersikap ksatria. Namun, jika saat ini Anda sudah memiliki posisi tinggi, dan reputasi yang harum mewangi; mungkin sudah waktunya bagi Anda untuk kembali membiasakan diri menjadi orang biasa lagi. Karena perasaan menjadi orang ‘luar biasa’ sering menjauhkan kita dari sifat ksatria.

3. Makin ngeyel Anda, makin sebel orang pada Anda. 
Kita sering mengira bahwa sifat ngeyel itu mencerminkan ketangguhan. Tidak. Justru ngeyel itu cermin kepicikan. Saya mengenal orang-orang yang mudah sekali untuk ‘diajak menjadi lebih baik’. Ketika ditunjukkan kekurangan yang harus diperbaikinya mereka langsung mengakui tanpa argument berbelit-belit. Lalu mereka berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi. Kepada orang-orang seperti itu, kita sangat respek sehingga tidak ada lagi gairah untuk memperpanjang masalah. Namun, ada juga orang-orang yang sudah jelas salah, tapi ngotot saja mencari pembenaran atas tindakan salahnya. Bukannya mawas diri, mereka malah bertahan dengan argumennya yang defensif. Kepada orang-orang seperti itu, kita sama sekali tidak memiliki simpati. Begitu pula halnya ketika kita yang berbuat kesalahan itu. Kalau kita mau bersikap ksatria untuk mengakuinya, lalu berkomitmen untuk memperbaiki diri maka orang lain pun akan respek kepada kita. Tapi, jika kita ngeyel…hmmh, jangan harap nama baik kita akan pulih karena kengeyelan itu. Justru orang semakin sebal pada kita. Dan semakin kita ngeyel, semakin terlihat buruknya kita. Maka jika ingin menjadi orang baik, kita perlu belajar untuk berhenti ngeyel demi menutupi kesalahan yang kita lakukan. Bersikaplah ksatria, maka orang akan menaruh hormat pada Anda.

4. Posisikanlah diri setara dengan orang lain.  
Berada di posisi paling tinggi bisa melihat lebih banyak hal. Jadinya berbahaya kalau kita merasa ‘lebih tinggi’ dari orang lain. Kenapa? Karena kita menjadi lebih mudah melihat kesalahan mereka. Padahal, kita sendiri tidak sempurna-sempurna amat. Oleh karenanya, sangat penting untuk memposisikan diri kita setara dengan orang lain. Sehingga kita bisa seimbang dalam melihat ‘keluar’ dan ‘kedalam’. Mungkin Anda pintar, tapi orang lain tahu sesuatu yang Anda tidak tahu. Mungkin jabatan Anda tinggi, tetapi keterampilan atau pengalaman orang lain bisa jadi jauh lebih tinggi. Plus – minuslah, kita ini. Jadi bagusnya ya  posisikan diri setara dengan orang lain saja. Dengan begitu, kepala kita tidak menjadi kebesaran. Dengan posisi yang sama tinggi, kita juga tidak menganggap rendah mereka yang berbuat salah. Ya, faktanya memang mereka salah. Tetapi setelah diakuinya kesalahan itu, kita sadar jika mereka juga manusia biasa. Saat kita sendiri yang salah pun, kita tidak terlalu gengsi mengakuinya. ‘Boss tidak pernah salah,” kata orang. Makanya, tidak usah sok nge-boss biar tidak susah mengaku salah. “Orang pinter mesti bener,” katanya. Makanya, zangan sok pinterlah. “Orang suci jauh dari dosa,” kata yang lain. Kalau kita tidak sok suci, maka tidak sulit lagi untuk mengakui kekurangan diri, meminta maaf dari orang lain, dan melakukan perbaikan.

5. Akuilah semuanya, agar dimaafkan.  
Ayah saya tahu, jika saya mengambil uang itu. Beliau bisa saja memaksa merogoh saku baju saya. Pasti uang itu bisa ditemukan dengan mudah. Tapi tidak dilakukannya. Perlakuan Ayah merupakan momentum penting bagi saya. Jika beliau memaksa, bisa jadi saya akan mencari cara untuk menyembunyikannya ditempat paling sulit. Boleh jadi, hari ini saya menjadi ahli dalam berkilah dan bersilat lidah. Namun, Ayah telah berhasil membuat saya mengakuinya secara sukarela, menyampaikan penyesalan, dan merasakan betapa indahnya mengakui kesalahan. Sampai hari ini, jika saya berbuat salah pada Anda, maka Anda tidak perlu menginterogasi saya. Cukup tunjukkan dimana salah saya, maka saya akan mengakuinya. Saya menyadari pelajaran yang diberikan oleh Ayah bahwa; setiap kesalahan yang diakui mempunyai peluang untuk dimaafkan. Logis, ya? Tidak mungkin kita bisa memaafkan sesuatu yang tidak diakui, kan? Maka jika kita memang telah melakukan kesalahan, sebaiknya berhenti ngeyel. Akuilah semuanya. Karena dengan pengakuan itu, kita punya kesempatan untuk dimaafkan.  

Kitab suci dengan jelas merekam wahyu Tuhan yang berfiman;”Pada hari ini Kami tutup mulut mereka. Tangan mereka akan berkata kepada Kami. Dan kaki mereka akan memberi kesaksian. Terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Merinding kulit tubuh kita jika memahami makna ayat suci itu. Kita sama sekali tidak bisa bersembunyi dari apa yang pernah kita lakukan dimasa lalu. Semakin kita bersembunyi, semakin tidak termaafkan kesalahan itu. Maka sebelum mulut kita ditutup, mari gunakan dia untuk mengakui bahwa kita telah berbuat salah. Mari gunakan lidah ini untuk memohon maaf dengan tulus. Dan mumpung masih ada waktu, mari kita lakukan perbaikan meski sedikit demi sedikit. Semoga dengan begitu, orang lain bersedia melihat bahwa kita memiliki komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dan semoga dengan begitu, tangan dan kaki kita memberi kesaksian yang baik. Pada hari ketika tangan dan kaki ini mendapat giliran untuk bicara.

Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Trainer Bidang Kepemimpian dan Pembedayaan Diri
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” 

Catatan Kaki:
Bersembunyilah sejauh yang Anda bisa. Namun sejauh apapun itu, tak mungkin Anda bisa selamanya menyembunyikan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar