Inspirasi : Ikut Campur atau Kontrol Sosial?


Mencampuri urusan orang lain bukanlah perilaku yang baik. Tetapi, membiarkan orang lain melakukan sesuatu sesuka hati juga tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.  Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang bisa memusuhi orang lain hanya gara-gara merasa urusannya dicampuri. Dan, tidak sedikit peristiwa buruk terjadi karena orang tidak saling peduli. Di kantor, ada orang yang marah kepada temannya hanya karena dia ditegur;”ingat, itu telepon kantor…jangan dipake pacaran melulu..”. Ada juga orang yang akhirnya dipecat setelah teman-temannya tidak mau peduli meski mereka tahu dia suka melakukan tindakan keliru. Maka dari itu, kita mesti bisa menjalankan fungsi sosial tanpa harus ikut campur urusan orang lain.
Saya baru kembali dari luar kota ketika mendapati meja kerja saya sudah terlihat rapi dan bersih. Meski menyukai kerapian dan kebersihan, tetapi saya tidak suka pada apa yang terjadi dengan meja kerja itu. Selama berhari-hari saya masih harus mencari kertas dan catatan-catatan kecil berisi memo penting. Menyusun ulang buku-buku, dan mengembalikan folder dan binder pada tempatnya. Pembantu rumah tangga (PRT) kami baru bekerja satu hari. Dan pada hari pertama kerjanya itulah dia melihat ada yang ‘salah’ dengan meja kerja saya. Maka dengan inisiatif dan niat baik, dia ‘merapikan’ meja kerja saya seperti yang ‘semestinya’. Karena saya dan istri tidak tahu, maka dia melakukannya dengan sempurna. Saya sungguh tidak menyukai hal itu, tetapi sadar jika dia melakukannya dengan tujuan yang baik. Sebagai imbalannya, saya mendapatkan sebuah penyadaran diri. Ternyata, selama ini kita sering mengira hidup orang lain berantakan sehingga perlu kita ‘rapikan’. PRT baru kami menyadarkan saya bahwa ternyata, hal itu tidak selamanya benar. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memandang meja orang lain secara lebih baik, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 kesadaran Natural Intellligence berikut ini:

1. Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing. 
Meja kerja merupakan wilayah yang sangat pribadi dan nyaris merupakan duplikasi jiwa seseorang. Coba tanyakan kepada teman-teman lain; “Apakah Anda lebih suka membereskan meja kerja sendiri, atau orang lain yang melakukannya untuk Anda?”. Mengejutkan sekali. Sebagian besar orang yang saya tanya, ternyata tidak suka ada orang yang membereskan meja kerjanya. Bahkan ada yang berprinsip; ’Never, never, never touch my desk!’ Darah bisa naik ke ubun-ubun jika seseorang nekat melakukannya. Ini adalah gambaran nyata bahwa setiap orang memiliki history dan story masing-masing dengan wilayah pribadinya. Maka belajar memahami sudut pandang orang lain menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan. Coba ingat kembali tindakan-tindakan yang sudah Anda lakukan dengan benar namun dinilai aneh oleh orang lain. Bagi Anda, itu bukan hal yang aneh karena memang itulah yang seharusnya Anda lakukan. Sama halnya ketika orang lain melakukan sesuatu yang Anda anggap ’aneh’. Kita hanya akan menilainya aneh ketika kita tidak melihat dari sudut pandang yang sama. Namun, jika kita memahaminya, maka kita akan berkata;”Ooh, begitu toh....” Makanya, kita perlu memiliki kesadaran bahwa setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing.

2. Perbedaan persepsi bisa dijembatani dengan komunikasi.  
Sebagai konsekuensi dari kesadaran bahwa setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing, maka kita membutuhkan jembatan untuk menghubungkannya. Nama jembatan itu adalah ‘komunikasi’. Kita tidak lagi bisa membereskan ‘meja’ orang lain menurut apa yang kita kira seharusnya meja itu seperti apa tanpa memahami latar belakangnya. Di kantor-kantor banyak kejadian dimana atasan langsung menghukum anak buahnya yang melakukan kesalahan, tanpa memahami latar belakangnya. Atau sebaliknya, banyak bawahan tidak memahami mengapa atasannya menuntut mereka segera menyelesaikan tugas-tugasnya. Walhasil, atasan menilai anak buahnya tidak kompeten dan lemah disiplin. Sedangkan bawahan menilai atasannya sebagai seorang penuntut dan otoriter. Saat menjadi bawahan, saya tidak pernah melakukan kesalahan yang memang sengaja saya buat untuk menyia-nyiakan amanah. Ketika menjadi atasan, saya tidak pernah menyalahgunakan wewenang untuk menindas bawahan. Apakah itu karena atasan saya sering tidak memahami bawahannya? Bukan. Atau, bawahan saya sering tidak mengerti atasannya? Tidak juga. Masalah sesungguhnya adalah; “Saya tidak benar-benar ‘saling’ memahami dengan atasan dan bawahan saya.”  Dan itu, pasti disebabkan oleh lemahnya kualitas komunikasi.

3. Rapikan mejamu terlebih dahulu. 
Mudah melihat meja orang lain, tapi tidak segampang itu saat kita melihat meja kita sendiri. Ada kejadian menarik. Seseorang mendatangi meja orang lain, lalu menyampaikan ’petuah’ tentang bagaimana seharusnya sebuah meja ditampilkan. Pada saat kejadian itu berlangsung, mejanya sendiri memang ’sedang bersih’. Tetapi, pada kesempatan lain, meja beliau sendiri yang ditinggalkan berantakan. Sedangkan meja orang yang pernah dikritiknya sudah terbiasa bersih seperti yang dulu pernah diajarkan oleh beliau. Orang yang pernah dikritiknya bertanya; ’Apakah meja saya sudah seperti yang Bapak nasihatkan?”. Dia menjawab; ”Oh ya. Nah seperti itu kan bagus...” Beliau berkata sambil tetap membiarkan mejanya sendiri berantakan. Apakah ini kisah rekaan belaka? Silakan timbang-timbang sendiri saja. Faktanya, kita sering tergoda menyarankan orang lain untuk membenahi hidupnya. Namun, lupa untuk membereskan hidup kita sendiri. Padahal, memang meja itu tidak bisa selamanya rapi. Dia pasti berantakan saat kita tengah bekerja keras. Hidup kita juga tidak selamanya beres. Ada kalanya semerawut juga. Tetapi, jika kita terus berusaha tanpa henti untuk membereskannya, maka paling tidak; orang juga tahu kalau kita terus berusaha untuk merapikan meja kita sendiri.

4. Estetika itu penting, dan fungsi lebih penting. 
Silakan tanya kepada orang yang Anda nilai mejanya berantakan; ‘Apakah Anda tidak menyukai kerapian?’ Tak seorang pun yang tidak menyukai kerapian. Tetapi, bagi sebagian orang hal itu bukanlah prioritas. Yang terbaik memang ketika kita bisa memiliki kerapihan dengan tetap menjaga fungsi pentingnya tetap berjalan. Tapi, kita tidak selamanya berada pada kondisi ideal seperti itu. Makanya, ada orang yang penampilannya sangat menawan, namun keterampilan kerjanya sekedar biasa-biasa saja. Atau sebaliknya. Dan, ada juga orang yang baik penampilan maupun keterampilannya sungguh sangat mengagumkan. Namun, jika Anda baru bisa memenuhi salah satu kriterianya, mana yang akan Anda dahulukan? Penampilan? Ataukah peran yang bisa Anda mainkan? Pilihan Anda bisa jadi berbeda dengan orang lain. Tapi apapun itu, kita perlu ingat bahwa dalam kebanyakan situasi; fungsi sering lebih penting dari penampilan. Setelah itu penampilan bisa menyusul kemudian. Sebagian besar jenis pekerjaan menuntut kita untuk mendahulukan fungsi atau peran daripada penampilan. Meskipun mungkin ada case-case tertentu yang sebaliknya, namun begitulah lazimnya. Maka, ada baiknya jika kita memulai dengan mendahulukan kemampuan kita dalam memainkan peran atau fungsi yang signifikan. Setelah itu perlahan-lahan memperbaiki penampilan. Supaya kita bisa menjadi pribadi yang benar-benar komplit.

5. Sama-sama mengindahkan norma umum. 
Kita boleh saja menerapkan standar nilai pribadi. Kita juga bisa saja menghormati satandar nilai orang lain. Tetapi, jika segala hal harus dipandang dengan cara seperti itu, ada kecenderungan manusia bertindak semaunya saja. Hilang system kontrol sosial jika demikian. Dan kondisi seperti itu bisa sangat membahayakan. Bayangkan, jika dengan dalih saling menghargai kita membebaskan orang lain melakukan apapun, atau menuntut orang lain untuk tidak usil pada apa yang kita lakukan. Pasti dunia ini hancur lebih cepat dari seharusnya. Maka dari itu, kita perlu mengindahkan etika dan norma umum. Betapapun berantakannya meja kita, tidak boleh sampai merusak pemandangan sekantor. Betapapun suka-suka kita dengan perilaku bebas, tidak boleh melanggar etika dan norma umum. Karena kita tidak selamanya menyadari jika telah melakukan hal-hal secara berlebihan, maka kita butuh orang lain untuk mengingatkan. Sebaliknya, orang lain juga butuh kita untuk selalu memastikan segalanya berjalan seperti semestinya. Walhasil, kita bisa menjadi pribadi-pribadi yang saling mengingatkan dalam kebaikan, dan mencegah dari keburukan.

Jika kita hanya hidup sendirian, maka kita bisa melakukan apapun yang kita inginkan. Silakan. Kenyataannya, kita berada dalam dunia yang membutuhkan kesediaan untuk berbagi ruang dengan orang lain. Meski kita merdeka untuk berbuat dan berekspresi sesuka hati, tapi kita juga bertanggungjawab untuk memastikan apa yang kita lakukan tetap mengindahkan kepentingan orang lain. Jika kita menyadari dan berkomitmen dengan itu, maka barulah kita bisa menciptakan hubungan dalam harmoni. Ini berlaku dalam kehidupan kita di kantor, di rumah, dan komunitas manapun juga. So, mari kita sama-sama belajar untuk merapikan meja kehidupan kita sendiri, dan saling mengingatkan dengan orang lain.

Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman –
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” 
Training for Everyone! ™   & http://www.dadangkadarusman.com

Catatan Kaki:
Karena tidak ada manusia yang sempurna, maka kita semua membutuhkan kehadiran orang lain untuk mencapai kesempurnaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar